Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Template

Powered by Blogger

Jumat, 04 Maret 2011

Tahun Saka & Hari Raya Nyepi

Astronomi (Ilmu perbintangan) yang menjadi patokan perhitungan untuk hari-minggu-bulan-tahun bagi umat manusia sebenarnya sudah dikenal di India sekitar 12.000 tahun Sebelum Masehi (SM). Dari India astronomi ini menyebar ke benua Eropa dan Asia.
Weda yang diwahyukan sekitar 3000 tahun SM disebut sebagai Weda Sruti. Sifat-sifat kebenaran Weda Sruti menurut para Maha Rsi adalah:
  1. Pratiyaksa (dapat dirasakan/ diamati),
  2. Adhiyatmika (dapat dipikirkan/ direnungkan), dan
  3. Paroksa (dapat dipelajari/ didiskusikan).
Walaupun demikian tetap saja Weda sulit dipahami oleh umat Hindu kebanyakan. Untuk dapat dipahami, Weda Sruti kemudian dijelaskan dengan pengertian sederhana dan lebih gamblang ke dalam tulisan-tulisan yang disebut: Upaweda, Wedangga, Itihasa, dan Purana.
Salah satu Wedangga yang menjelaskan tentang astronomi adalah Kitab Jyotesha, yang terdiri dari Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta, dan Romaka Siddhanta.
Sekarang diceritakan tentang keadaan sebelum Masehi, yaitu para penguasa (Raja) yang silih berganti di India oleh berbagai suku, yaitu: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa, dan Saka.
Diantara suku-suku itu yang paling tinggi tingkat kebudayaanya adalah suku Saka. Ketika suku Yuehchi di bawah Raja Kaniska berhasil mempersatukan India maka secara resmi kerajaan menggunakan sistem kalender suku Saka. Keputusan penting ini terjadi pada tahun 78 Masehi.
Sejak itu sistem kalender Saka digunakan terus menerus hingga saat ini yang disebut Tahun Saka. Itulah sebabnya sistem kalender Hindu “seolah-olah terlambat” 78 tahun dari kalender Masehi.
Pada tahun 456 M (atau Tahun 378 S), datang ke Indonesia seorang Pendeta penyebar Agama Hindu yang bernama Aji Saka asal dari Gujarat, India. Beliau mendarat di pantai Rembang (Jawa Tengah) dan mengembangkan Agama Hindu di Jawa. Sekaligus beliau mengajarkan sistem kalender Saka pada murid-muridnya.
Ketika Majapahit berkuasa, (abad ke-13 M) sistem kalender Tahun Saka dicantumkan dalam Kitab Nagara Kartagama. Sejak itu Tahun Saka resmi digunakan di Indonesia. Masuknya Agama Hindu ke Bali kemudian disusul oleh penaklukan Bali oleh Majapahit pada abad ke-14 dengan sendirinya membakukan sistem Tahun Saka di Bali hingga sekarang.
Perayaan menyambut Tahun Baru Saka sejak di India sampai ke Jawa dan kemudian ke Bali, selalu meriah dan sakral. Agama Hindu menyiratkan bahwa tibanya Tahun Baru Saka hendaknya disambut dengan penyerahan total ke hadirat Hyang Widhi, serta berdoa semoga kehidupan di masa datang senantiasa dalam petunjuk Hyang Widhi.
Kehidupan umat Hindu diatur dalam Catur Purusaartha, yaitu: Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Tentang hal ini ada dalam Lontar Brahma Sutra sloka 45 dan 228, Sarasamuscaya sloka 135.
Di sana disebutkan bahwa Catur Purusaartha dapat dicapai jika dilaksanakan Yadnya yang bertujuan menghubungkan kekuatan Hyang Widhi (Prajapati), Praja (manusia), dan Kamadhuk (alam).
Lebih tegas Lontar Sanghyang Aji Swamandala menyebutkan bahwa Yadnya hendaknya dimulai dari Kamadhuk (alam) yang diwujudkan dalam Bhuta Yadnya.
Pentingnya Bhuta Yadnya juga ditegaskan dalam Sarasamuscaya 135 dan Bhagawadgita III.14 sebagai berikut:
Sarasamuscaya 135:
DHARMARTHAKAMAMOKSANAM PRANAH SAMSTHITIHETAVAH, TAN NIGHNATA KIN NA HATAM RAKSA BHUTAHITARTHA CA
Artinya: usahakanlah kesejahteraan (kelestarian) alam karena mereka menyebabkan tegaknya dharma, artha, kama, dan moksa.
Bhagawadgita III (percakapan ke-3) sloka ke-14:
ANNAD BHAVANTI BHUTANI, PARJANYAD ANNASAMBHAVAH, YAJNAD BHAVATI PARJANYO, YAJNAH KARMA SAMUDBHAVAH
Artinya: karena makanan mahluk hidup, karena hujan makanan tumbuh, karena persembahan hujan turun, dan persembahan lahir karena kerja.
Tata cara Bhuta Yadnya (Tawur kesanga) yang diadakan tepat pada Tilem Kasanga diatur dalam Lontar-lontar: Sanghyang Aji Swamandala, Agastya Parwa, Usana Bali, dan Ekapratama.
Filsafat tentang Tawur sebagai berikut: Tawur artinya membayar atau mengembalikan. Apa yang dibayar dan dikembalikan? Adalah sari-sari alam yang telah dihisap atau digunakan manusia. Agar terjadi keseimbangan maka sari-sari alam itu dikembalikan dengan upacara Tawur.
Upacara Tawur menurut Lontar Ekapratama, dipimpin oleh Sadaka-Sadaka (Pendeta) yang berpaham Siwa, berpaham Boddha, dan berpaham Bujangga masing-masing dengan tugas: Sadaka-sadaka Siwa mensucikan Akasa (Swahloka) dengan Agniangelayang, Sadaka-sadaka Boddha mensucikan Atmosfir (Bhuwahloka) dengan Agnisara, dan Sadaka-sadaka Bujangga mensucikan Sarwaprani (Bhurloka) dengan Agnisinararasa.
Upacara Tawur dilaksanakan di Catuspata (Perempatan Agung) pada siang hari, kemudian di setiap rumah tangga diadakan juga Bhuta Yadnya yang lebih sederhana, yaitu dengan cara membuat sanggah cucuk di luar rumah berisi banten: tegteg daksina peras ajuman, dandanan, tumpeng ketan, sesayut, panyeneng, jangan-janganan, tipat kelanan, sujang arak tuak berem, segehan aperancak (segehan agung), nasi warna 9 tanding dan nasi cacahan 100 tanding.
Setelah itu semua anggota keluarga yang sudah ketus gigi mabeakala/ maprayascita, kemudian barulah ngerupuk dan menebarkan nasi Tawur yang diperoleh dari Catuspata tadi.
Sebelum upacara Tawur terlebih dahulu diadakan upacara Melasti. Melasti berasal dari kata Mala = kotoran/ leteh, dan Asti = membuang/ memusnahkan.
Pelaksanaan melasti dengan mengiring pratima Ida Bethara ke segara atau segara alit (sungai) untuk mesucian. Jumputan tanah di setiap sudut pekarangan rumah turut dihanyut di segara sebagai simbol membuang keletehan.
Lontar Sanghyang Aji Swamandala menyebutkan tujuan melasti sebagai berikut:
ANGLUKATAKEN LARANING JAGAT, PAKLESA LETUHING BHUWANA
artinya: melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan, dan ke kotoran alam.
Lontar Sundarigama menyebutkan:
AMET SARINING AMERTHA KAMANDALU RING TELENGING SAGARA, MANUSIA KABEH NGATURAKEN PRAKERTI RING PRAWATAK DEWATA
artinya: mencari sari kehidupan di tengah-tengah laut, dan manusia mempersembahkan bhakti kepada Hyang Widhi.
Selanjutnya dijelaskan bahwa setelah melasti, Ida Bethara nyejer di Pura untuk memberkati pelaksanaan Tawur Kesanga yang bertujuan memelihara keharmonisan Prajapati, Praja, dan Kamadhuk seperti yang diuraikan di atas, di samping itu untuk mensucikan jagat raya sebelum pelaksanaan Nyepi yang akan diadakan keesokan harinya.
Pada penanggal apisan (tanggal 1) Sasih Kadasa, yaitu esok hari setelah Tawur Kasanga, tibalah hari Sipeng, seperti kutipan Lontar Sundarigama:
ENJANG NYEPI AMATIGNI TAN WENANG SAJADMA ANYAMBUT KARYA SAKALWIRNIYA AGNIGNI SAPARANIYA TAN WENANG, KALINGANIYA WENANG SANG WRUH RING TATTWA GELARAKEN SAMADI, TAPA, YOGA AMETITIS KESUNYATAAN
artinya: besok Nyepi, tidak menghidupkan api, tidak dibolehkan manusia bekerja apapun, atau berapi-api dalam bentuk apapun, sebaliknya turutilah petunjuk Hyang Widhi, gelarkan samadi, tapa, dan yoga.
PHDI kemudian mempertegas tentang Brata Penyepian sebagai 4 (empat) pantangan, yaitu:
  1. Amati gni (tidak menghidupkan api)
  2. Amati karya (tidak bekerja)
  3. Amati lelungaan (tidak bepergian)
  4. Amati lelanguan (tidak bersenang-senang/ menghibur diri dengan tontonan dll)
Selain melaksanakan tapa, yoga, dan samadi, baik sekali dilaksanakan juga brata, yaitu berpuasa dan mengekang nafsu. Tujuan brata penyepian adalah:
  1. Menguasai diri (mengendalikan sad ripu: nafsu, lobha, marah, mabuk, sombong, dan dengki iri hati)
  2. Menuju kesucian hidup
  3. Melaksanakan dharma untuk menyeimbangkan adharma
Di hari Nyepi umat Hindu berada di Pura, Sanggah Pamerajan, atau di tempat suci (kamar suci) asal tidak keluar rumah, untuk melaksanakan berata penyepian, upawasa (berpuasa), mona (tidak berbicara), dhyana (memusatkan pikiran pada Hyang Widhi), dan arcana (bersembahyang) selama 24 jam.
Setelah Nyepi, keesokan harinya Ngembakgni, melepaskan brata penyepian dan ber-dharma santi, yaitu bermaaf-maafan kepada setiap orang, serta bergembira ria sebagai wujud puji sukur ke hadapan Hyang Widhi bahwa kita telah berhasil melaksanakan rangkaian hari raya Nyepi dengan selamat.
Ketika tiba hari Purnama Kadasa, umat Hindu berduyun-duyun datang ke Besakih karena di Besakih Ida Bethara turun kabeh (turun semua) memberikan berkat keselamatan dan kesejahteraan kepada semua umat Hindu.
Tirta yang diperoleh dari Besakih disiratkan pada semua palinggih di Pura/ Sanggah Pamerajan agar berkat itu diterima pula oleh para leluhur kita, kemudian setelah itu seluruh anggauta keluarga nunas tirta itu untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup kita selanjutnya.
Demikian dilaksanakan berulang-ulang sepanjang tahun.

0 komentar:

Posting Komentar