Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Template

Powered by Blogger

Sabtu, 29 Januari 2011

Crop Circle

Inilah Crop Circle Yang Asli Buatan Allien

Ada 3 Makhluk Misterius Berwujud Laki - Laki Berambut Pirang Dengan Tinggi Sekitar 1,8 M Mendekati Crop Circle

Tak selamanya crop circle dibuat manusia. Pada 6 Juli 2009, seorang saksi menyaksikan makhluk asing di lokasi crop circle di Silburry Hill, Wiltshire, Inggris. Wiltshire merupakan wilayah dengan “jejak alien” terbanyak, yang kemunculannya lebih dari 12 titik setiap musim panas.

Saksi yang dirahasiakan namanya tersebut adalah petugas kepolisian dengan pangkat sersan. Usai bertugas, dia mendapati tiga sosok berdiri dekat sebuah crop circle.
Petugas itu lalu menghentikan kendaraannya dan mendekat. Sosok itu berwujud tiga laki-laki bertinggi sekitar 1,8 meter dengan rambut pirang. Saat didekati terdengar suara seperti listrik statis. Seketika, ketiganya ngacir dengan kecepatan luar biasa.


Crop circle di Swiss , 29 Juli 2007

Pakar crop circle Andrew Russell, yang mewawancarainya, yakin petugas itu melihat makhluk luar angkasa. Dia menjabarkan kejadian yang dialami polisi itu.

Awalnya, makhluk asing itu disangka petugas forensik karena mengenakan pakaian terusan putih. Polisi itu menyaksikan tiga “orang” itu mengamati crop circle, yang baru terbentuk beberapa hari.

Dari pinggir ladang, polisi itu mendengar suara seperti listrik statis. “Suara itu seperti bergerak menyusuri ladang dan tanaman bergerak mengikuti arah suara,” katanya.

Pada teriakan pertama, tiga sosok asing itu tidak mengubris. Namun saat si polisi memasuki ladang, ketiganya melihat dan langsung lari. “Kecepatannya lebih dari manusia mana pun,” katanya. Mereka menghilang dalam sekejap mata.

Rekan Russell, Colin Andrews, yakin petugas itu berkata jujur. “Informasinya harus ditelusuri lebih lanjut,” ujar pakar asal Amerika Serikat, yang meneliti crop circle sejak 1983 itu. Kepolisian Wiltshire menolak berkomentar dengan alasan polisi itu sedang tidak bertugas.

Inilah Crop Circle yang Asli Buatan Alien - www.Whooila.com

Read More......

Sabtu, 22 Januari 2011

BULLETIN@

Intelektual Hindu di Masa Depan

Ciri utama globalisasi yang melanda dunia sekarang, adalah ‘perubahan’. Masyarakat yang hidup dalam dunia global harus memiliki kekuatan untuk melanjutkan kehidupan dan kekuatan untuk berubah.
Dalam komunitas yang terbelakang hampir tidak ditemukan kemajuan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam kondisi ini perubahan dilihat dengan rasa curiga dan banyak energi manusia sia-sia karena dikonsentrasikan pada upaya mempertahankan status quo.
Sebaliknya dalam komunitas yang maju, perubahan merupakan darah kehidupan. Tak terdapat hal yang terlalu buruk pada masyarakat, seperti kemelekatan buta kepada bentuk-bentuk kuno dan kebiasaan-kebiasaan usang yang tetap bertahan karena sikap pasif.
Pandangan Hindu memberikan ruang bagi perubahan-perubahan esensial. Ajaran Veda tidak membolehkan pelanggaran dharma, dan senantiasa menganjurkan kedamaian, kerukunan hidup bermasyarakat, menghindari ketegangan, dan mencegah konflik.
Meski prinsip-prinsip dharma mengandung kebenaran hakiki sehingga ia dinamakan sanatana dharma, tetapi peraturan-peraturan mengalami perubahan dari masa ke masa, sebagaimana disebutkan dalam kitab Parasara Dharmasastra 1.33:
YUGE YUGE CA YE DHARMAS TATRA TATRA CA YE DVIJAH, TESAM NINDA NA KARTTAVYA YUGA RUPA HI TE DVIJAH
(Aturan dan etika yang berlaku pada setiap zaman selalu berbeda, kaum cendekiawan yang memimpin perubahan masyarakat di suatu zaman tertentu tidak bisa disalahkan karena sesungguhnya dari perubahan itulah suatu zaman terwujud).
Institusi yang ketinggalan akan berlalu. Aturan-aturan itu memiliki masanya sendiri karena merupakan produk waktu dan digantikan oleh waktu, oleh karena itu dharma tidak dapat diidentikkan dengan institusi-institusi tertentu. Dharma tetap bertahan karena berakar pada kealamiahan manusia dan akan hidup abadi.
Metode dharma adalah metode perubahan eksperimental. Semua institusi adalah eksperimen, bahkan semua kehidupan merupakan eksperimen. Para legislator dihambat oleh lingkungan mereka sehingga tidak ada hukum atau institusi yang benar-benar suci dan sempurna.
Kitab Parasara Dharmasastra menyebutkan bahwa dalam empat masa, yaitu Kreta, Treta, Dvapara, dan Kali, peraturan-peraturan Manu, Gautama, Sankhalikhita, dan Parasara masing-masing merupakan otoritas tertinggi pada zamannya.
Manusia sebagai agent of development tidak dapat mentransfer kebiasaan-kebiasan dari suatu masa ke masa yang lainnya begitu saja, tanpa mengadakan perubahan dan penyesuaian.
Gagasan-gagasan moral mengenai hubungan-hubungan sosial tidak bersifat absolut, tetapi bersifat relatif terhadap kebutuhan dan kondisi dari jenis masyarakat yang berbeda.
Walaupun dharma bersifat absolut, ia tidak mempunyai isi yang absolut dan menembus batas waktu. Satu-satunya yang kekal dengan moralitas manusia adalah hasrat manusia untuk menjadi lebih baik. Akan tetapi waktu dan kondisi menentukan ‘apa yang lebih baik’ dalam setiap situasi.
Status kesepakatan-kesepakatan sosial tidak bisa dinaikkan menjadi peraturan-peraturan absolut tanpa mempertimbangkan situasi-situasi nyata. Tidak terdapat suatu tindakan manusia positif yang dapat dikatakan secara apriori sebagai sesuatu yang benar atau salah tanpa memperhatikan kondisi tempat tindakan itu dilakukan.
Bentuk-bentuk tindakan dianggap baik atau buruk pada tahapan peradaban berbeda, bergantung apakah itu meningkatkan atau menghambat kebahagiaan manusia. Institusi-institusi dan dogma-dogma yang kehilangan materi kehidupan harus dibuang.
Kebenaran-kebenaran yang menembus batas waktu memanifestasikan dirinya dalam hal-hal baru, yang selalu muncul dalam hidup. Masyarakat mempunyai hak untuk menolak hukum-hukum yang tidak cocok, bahkan jika hukum-hukum itu dibolehkan dalam kitab-kitab suci.
Hukum dibuat dan dicabut ketika waktu mengharuskannya. Etika dan hukum mencerminkan gagasan-gagasan dan kepentingan-kepentingan dari tahapan evolusi tertentu dan menjadi sangat resisten terhadap perubahan ketika mereka mendapat kedudukan istimewa melalui keterkaitannya dengan agama.
Fleksibilitas sosial telah menjadi karakter utama Hindu-Dharma. Maka oleh karena itu, mempertahankan sanatana dharma tidaklah dilakukan dengan berdiam diri saja, tetapi dengan menguasai prinsip-prinsip vital dan menerapkannya dalam kehidupan modern.
Semua pertumbuhan yang benar memelihara persatuan sepanjang perubahan-perubahan terjadi. Maka ketika perubahan-perubahan berlangsung masyarakat tidak merasakan secara drastis karena terdapat ‘kekuatan’ yang menyatukan, menggabungkan materi baru dan mengendalikannya.
‘Kekuatan’ itu adalah keyakinan hakiki pada sanatana dharma. Kekuatan itu pulalah yang mencegah tatanan sosial tidak terpecah-pecah, dan pemikiran sosial tidak menjadi kacau.
Suatu bangsa yang maju akan senantiasa mampu memberikan makna bagi pengalaman-pengalamannya di masa lalu. Prinsip-prinsip dharma dalam skala nilai harus dipertahankan di dalam dan melalui tekanan-tekanan pengalaman baru. Hanya dengan jalan itu akan terbuka kemungkinan untuk mencapai kemajuan sosial yang integral atau seimbang.
Kaum intelektual Hindu harus memperkenalkan perubahan-perubahan, mengelola sedemikian rupa sehingga membuat Hindu-Dharma relevan dengan situasi-situasi modern.
Perubahan-perubahan itu adalah dampak masuknya kekuatan-kekuatan baru ke dalam masyarakat antara lain: industrialisasi ke dalam sektor agraris, penghapusan hak istimewa dengan pola kemanfaatan bersama, masuknya orang-orang non Hindu ke dalam masyarakat Hindu, emansipasi wanita versus otoritas lelaki, dan percampuran ras/ suku/ agama melalui perkawinan.
Masyarakat yang maju dalam iklim perubahan akan tercapai bila kondisi ideal lebih baik dari pada kondisi aktual. Artinya, pemikiran-pemikiran cemerlang dari kaum intelektual mampu membuahkan gagasan baru, inovasi, dan kreasi, baik dalam iptek maupun dalam tatanan sosial.
Mereka hendaknya selalu berorientasi pada pelayanan masyarakat dengan integritas intelektual. Mereka terlebih dahulu harus menciptakan kesadaran sosial dan rasa tanggung jawab tinggi pada dirinya.
Untuk dapat berperan seperti itu maka Max Muller, dengan mengutip Vedanta menyatakan bahwa para cendekiawan perlu memperhatikan unsur-unsur kesehatan dalam arti luas, dengan prioritas utama pada kesehatan spiritual, kemudian berturut-turut disusul oleh kesehatan emosional, kesehatan inteligensi, dan kesehatan fisik.
Penjelasan lebih lanjut, mengarah pada pentingnya setiap orang untuk memahami filsafat agama yang dipeluknya, serta mengaplikasikan pada kehidupan sehari-hari, sebagai dasar untuk mendapatkan kestabilan emosional yang terkendali baik.
Setelah itu akan tumbuh keinginan mengembangkan intelektual untuk mencapai kualitas kehidupan yang makin tinggi. Ketiga unsur dasar itu akan berperan besar pada terwujudnya kesehatan phisik. Ia menyebut keempat unsur itu sebagai resep mencapai ‘Living Healthy’.
Seorang cendekiawan dan filsuf Hindu tersohor, Ramakrishna Paramahamsa mengenalkan semboyan: ‘Simple living, and high thinking’ yakni pola hidup yang sederhana dalam pengertian konsumsi kebendaan sebagai apa adanya, serta pengendalian diri yang penuh, namun senantiasa berpikiran cemerlang dan upgrade dalam kualitas iptek dan pelayanan masyarakat.
Semboyan ini telah menjiwai para pemimpin India, sehingga mereka mampu membawa negaranya ke kemajuan yang pesat.
Untuk menjadi tangguh dalam era global, intelektual Hindu di masa depan hendaknya mengemukakan nilai-nilai ‘kebenaran’ sebagai azas pokok.
Kebenaran adalah suatu pandangan dan nilai yang mula-mula bersifat subjektif karena bersumber dari masing-masing diri pribadi. Kualitas kebenaran tergantung dari tingkat kemampuan dan kecerahan olah pikir yang didasari kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar seseorang.
Dalam perjalanan hidup, manusia sejak kecil terobsesi persaingan untuk mendapatkan keunggulan tertentu yang memunculkan eksistensi jati diri.
Pertumbuhan kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar berjalan serentak melalui pendidikan formal, pendidikan informal, pendidikan non-formal, pengajaran, kerajinan mendalami ajaran agama, dan kemampuan menghimpun pengalaman-pengalaman positif diri sendiri maupun orang lain melalui komunikasi langsung atau tidak langsung, misalnya dengan membaca buku-buku hasil karya tokoh terkemuka.
Selain itu kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar akan tumbuh dengan subur bila disertai disiplin tertentu dalam jalan kehidupan spiritual.
Diri manusia adalah ibarat suatu laboratorium raksasa yang selalu mengkaji segala aspek, baik yang tumbuh dari dalam maupun yang datang dari luar dirinya. Disiplin menempuh kehidupan spiritual merupakan pangkal utama keberhasilan seseorang mencapai keunggulan jati diri.
Dalam Brhadaranyaka Upanisad telah ditegaskan bahwa nilai-nilai kebenaran subjektif hanya akan diperoleh bila aspek spiritual diunggulkan dalam kehidupan manusia. Penegasan ini diaplikasikan oleh filsuf Hindu terkenal Adi Sankaracarya, yang menyatakan bahwa aspek spiritual sangat besar pengaruhnya pada nalar manusia.
Oleh karena nilai-nilai kebenaran didasari oleh aspek spiritual yang bersifat universal, maka pandangan yang mulanya subjektif kemudian menjadi dualis, yaitu subjektif dan objektif. Artinya nilai-nilai kebenaran yang diyakini seseorang haruslah mendapat pengakuan publik.
Bila demikian ia akan berguna bagi kesejahteraan bersama dalam kehidupan manusia yang harmonis dengan Hyang Widhi (Parhyangan), dengan sesama manusia (Pawongan), dan dengan alam semesta (Palemahan).
Ketiga keharmonisan ini disebut “Trihita Karana”. Nilai-nilai kebenaran objektif seperti ini kemudian berkembang menjadi darsana, yaitu sebuah pandangan realitas logis, yang berlandaskan observasi konseptual setelah melalui tes dalam kehidupan manusia.
Bagi mereka yang merasa masih belum mendapatkan atau masih ragu pada nilai-nilai kebenaran, dapat meminta guru spiritual yang dipercaya memberikan pencerahan yang bersumber dari Veda.
Di samping itu para pencari kebenaran hendaknya memelihara roh atau atman yang ada di dalam dirinya dengan baik, dalam pengertian memberikan kesempatan yang luas kepada atman untuk menguasai pikiran.
Dalam filsafat Hinduisme “Advaita”, atman adalah Brahman/ Hyang Widhi. Jadi bila manusia berhasil menguatkan kedudukan atman pada dirinya, berarti ia berhasil pula menguatkan stana Hyang Widhi dalam dirinya.
Ia dengan segera akan mendapatkan pencerahan, sehingga segala kayika (perbuatan) dan wacika (perkataan) terkendali dengan baik dari manacika (pikiran) yang telah dirasuki kemurnian dan kekuatan Brahman.
Kitab suci Veda mempunyai otoritas tertinggi dalam menentukan kebenaran, sedangkan nalar atau pikiran yang disebut tarka menegaskan nilai-nilai itu untuk mencapai intuisi humanist.
Upanisad menyatakan bahwa dengan mendengarkan (sravana), refleksi (nidhiyasana), dan meditasi (upasana) seseorang dapat mencapai pengetahuan intuitif Brahman.
Dengan demikian maka unsur-unsur kebenaran meliputi tiga hal pokok:
  1. Nilai hakiki, yaitu Veda
  2. Sarana, yaitu tarka
  3. Tes kebenaran, yaitu pengakuan publik
Mengenai nilai hakiki dan sarana telah dijelaskan di atas. Kini dilanjutkan dengan masalah tes kebenaran. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan atau sains mempunyai keterbatasan karena hanya mengetahui fakta-fakta di dalam hubungannya dengan fakta yang lebih besar.
Di sisi lain fakta-fakta yang baru dapat menggantikan fakta-fakta yang lama yang sudah dianggap usang dan tidak digunakan lagi.
Kebenaran dalam aspek spiritual yang abadi tidak hanya mencakup hal-hal material saja tetapi juga mencakup aspek-aspek halus yang tidak berwujud misalnya, panca tan matra, yaitu pengaruh panca indria:
  1. Sabda tan matra (pendengaran)
  2. Sparsa tan matra (rasa kulit)
  3. Rupa tan matra (penglihatan)
  4. Rasa tan matra (rasa lidah)
  5. Ganda tan matra (penciuman)
Pengaruh panca tan matra pada atman melalui pikiran kemudian membentuk trikaya (kayika: perbuatan, wacika: perkataan, dan manacika: pikiran).
Trikaya seseorang akan menampilkan tripramana, yaitu rajas, tamas, dan sattwam, yang pada gilirannya menjadi salah satu bagian dalam pembentukan karmawasana. Unsur-unsur karmawasana adalah subha dan asubha karma.
Tes kebenaran spiritual tidak dapat dilakukan secara nyata dan segera, karena memerlukan pembuktian melalui analisis objektif publik. Bagi masyarakat yang keyakinan Hinduisme-nya kuat, salah satu sarana tes kebenaran misalnya dapat diambil dari bagian pancasrada, yaitu karmaphala.
Bahwa perbuatan yang baik dan benar akan mendapatkan pahala yang baik, sedangkan perbuatan yang jelek dan salah akan mendapat pahala yang buruk.
Jalan yang dianjurkan untuk mendapat realisasi kebenaran ada bermacam-macam. Masing-masing darsana dari Sarva Darsana Samgraha menyampaikan cara sendiri, ada yang melalui karma marga, melalui bhakti marga, melalui jnyana marga, dan yoga marga atau kombinasi dari keempatnya.
Keberhasilannya tergantung pada disiplin pribadi dan konsistensi pelaksanaan dalam bentuk mengikuti jalan kesucian, meluaskan pengetahuan, dan menebarkan cinta kasih.
Ini tidaklah mudah karena seorang pencari kebenaran akan selalu mendapat godaan, cobaan, dan tantangan. Hakekat kehidupan manusia pada dasarnya selalu berjuang menegakkan kebenaran dan melawan atau menolak ketidakbenaran, atau kesalahan.
Dari segi pendidikan, pandangan bahwa kebenaran tertinggi adalah kebenaran spiritual mestinya selalu ditanamkan sehingga dengan sinar spirit inilah intelektual Hindu akan dapat mewujudkan kehidupan satyam, siwam, sundaram, yaitu kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama (satyam), saling menyayangi sesama umat manusia (siwam), dan sejahtera lahir-batin (sundaram).
Dasar yang kuat untuk mencapai kebenaran spiritual adalah ‘kedekatan’ dengan Sanghyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.
Keyakinan akan keberadaan-Nya dapat melalui Catur Pramana, yaitu: Agama Pramana, dari mempelajari kitab suci Veda; Pratyaksa Pramana, merasakan atau mengalami langsung dengan jelas dan nyata delapan ke-Maha Kuasaan-Nya yang disebut sebagai Asta Aisvarya:
  1. Anima = sangat halus
  2. Laghima = sangat ringan
  3. Mahima = sangat besar
  4. Prapti = dapat menjangkau semua tempat
  5. Isitva = melebihi segalanya
  6. Prakamya = berkehendak mutlak
  7. Vasitva = sangat berkuasa
  8. Kamavasayitva = kodrati, tak dapat dirubah
Selanjutnya, catur pramana yang lain adalah Anumana Pramana, yaitu dengan menarik kesimpulan berdasarkan logika, dari unsur-unsur gerakan, sebab-akibat, keharusan, kesempurnaan, dan keteraturan.
Yang terakhir adalah Upamana Pramana, yaitu analogi, dan kesimpulan berdasarkan perbandingan-perbandingan dari unsur-unsur metafora (penciptaan), struktural (bahan ciptaan) dan kausal (akibat dari suatu sebab).
Keempat pramana di atas mewujudkan keyakinan yang kuat yang disebut sebagai Pancasrada, yaitu:
  1. Widhi Tattwa (keyakinan pada adanya Hyang Widhi)
  2. Atma Tattwa (keyakinan pada adanya roh)
  3. Purnabhawa (keyakinan pada adanya re-inkarnasi)
  4. Karmaphala (keyakinan pada hukum karma-phala)
  5. Moksah (keyakinan akan adanya persatuan antara roh/ atman denganTuhan/ Brahman di suatu saat yang tepat, bila kesucian roh memenuhi syarat tertentu atau sama dengan Brahman)
Secara riil upaya mendekatkan diri dengan Sang Pencipta adalah melalui empat jalan atau Catur Marga, yaitu:
  1. Bhakti marga, menyembah, memuja, menghormati dan menyayangi
  2. Karma marga: bekerja, berbuat mencapai tujuan hidup dilandasi ajaran Veda
  3. Jnyana Marga: proses pembelajaran
  4. Yoga Marga: olah badan dan pikiran untuk menghubungkan atma dengan parama atma
Keempat jalan itu tidak dilaksanakan sendiri-sendiri, tetapi serentak bersamaan, namun keseimbangan bobotnya disesuaikan dengan kemampuan individu.
Dalam menempuh keempat jalan itu, kitab suci Veda telah menggariskan hal-hal yang harus dilaksanakan dan hal-hal yang tak boleh dilaksanakan, yaitu:
1. Catur Purushaarta: dharma, artha, kama, dan moksa, di mana urut-urutannya tidak boleh diubah, karena tiada artha yang diperoleh tanpa melalui dharma, selanjutnya tiada kama diperoleh tanpa melalui artha, serta tiada moksa bisa dicapai tanpa melalui dharma, artha, dan kama.
2. Sistacara: kehidupan suci yang membentuk susila
3. Sadacara: taat pada peraturan atau perundangan yang sah
4. Atmanastusti: memelihara hati nurani yang suci
5. Menjauhkan diri dari Sad Tatayi:
  1. Agnida (membakar, memarahi orang, menghasut, dll)
  2. Wisada (meracun atau meracuni dengan kata-kata atau bujukan)
  3. Atharwa (menggunakan ilmu hitam)
  4. Sastraghna (mengamuk/ lepas kendali)
  5. Dratikrama (memperkosa)
  6. Rajapisuna (memfitnah)
6. Waspada pada Sad Ripu yang ada pada diri sendiri:
  1. Kama (nafsu),
  2. Lobha (serakah),
  3. Kroda (marah),
  4. Mada (mabuk),
  5. Moha (sombong),
  6. Matsarya (cemburu, dengki dan iri hati)
7. Laksanakan Trikaya Parisudha, yakni
  1. Perbuatan (kayika) yang baik: ahimsa (tidak membunuh/ menyakiti), tan mamandung (tidak mencuri, korupsi, kkn), tan paradara (tidak berzina)
  2. Perkataan/ ucapan (wacika) yang baik: tan ujar apregas (tidak berkata-kata kasar/ keras), tan ujar ahala (tidak berkata-kata kotor atau membual), tan ujar pisuna (tidak memfitnah), satya wacana (jujur, menepati janji)
  3. Pikiran (manacika) yang baik: tan adengkya ri drwyaning len (tidak iri atau ingin memiliki kepunyaan orang lain), mamituhwa ri hananing karma-phala (percaya pada hukum karma-phala), dan masih ring sarwa satwa (menyayangi semua mahluk)
8. Senantiasa melakukan Asada Brata:
  1. Dharma (taat pada hakekat kebenaran)
  2. Satya (setia pada nusa-bangsa-negara)
  3. Tapa (mengendalikan diri)
  4. Dama (tenang dan sabar)
  5. Wimatsarira (tidak dengki, iri, serakah)
  6. Hrih (punya rasa malu berbuat salah atau dosa)
  7. Titiksa (tidak gusar)
  8. Anasuya (tidak bertabiat jahat)
  9. Yadnya (suka berkorban)
  10. Dana (dermawan)
  11. Dhrti (mensucikan diri)
  12. Ksama (suka memaafkan)
9. Kemampuan mengendalikan Dasa Indria:
  1. Srotendria (pendengaran)
  2. Twakindria (alat peraba, kulit)
  3. Granendria (penciuman)
  4. Caksundria (mata)
  5. Wakindria (lidah/ perkataan)
  6. Panindria (gerakan tangan)
  7. Payundria (membuang kotoran)
  8. Jihwendria (gerakan kaki)
  9. Pastendria (kelamin)
10. Mengendalikan diri melalui Yama Brata:
  1. Arnsamsa (tidak egois)
  2. Ksama (pemaaf)
  3. Satya (setia)
  4. Ahimsa (tidak membunuh/ menyakiti)
  5. Dama (sabar dan tenang)
  6. Arjawa (tulus ikhlas)
  7. Pritih (welas asih)
  8. Prasada (tidak berpikir buruk)
  9. Madhurya (bermuka manis secara tulus ikhlas)
  10. Mardawa (lemah lembut)
11. Menegakkan disiplin melalui Niyama Brata:
  1. Dana (dermawan)
  2. Ijya (rajin bersembahyang)
  3. Tapa (pengendalian diri/ mengekang nafsu)
  4. Dhyana (menyadari kebesaran Hyang Widhi)
  5. Swadhyaya (rajin belajar)
  6. Upastanigraha (menjaga kesucian hubungan sex)
  7. Brata (mengekang nafsu)
  8. Upawasa (puasa)
  9. Mona (mengendalikan pembicaraan)
  10. Snana (menjaga kesucian lahir-bathin)
12. Mengatur tahap kehidupan dalam Catur Ashrama:
  1. Brahmacari (masa konsentrasi belajar)
  2. Griyahasta (berumah tangga dan mengembangkan keturunan)
  3. Wanaprasta (mengurangi ikatan pada keduniawian)
  4. Bhiksuka (mensucikan diri menjadi orang suci)
Intelektual Hindu di masa depan idealnya adalah kelompok yang telah mencapai Sad Guna, yaitu:
  1. Sandhi (mudah keluar dari kesulitan hidup)
  2. Wigrha (berpengaruh luas)
  3. Jana (perkataannya sebagai cerminan pola pikir, dituruti massa)
  4. Sana (selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan)
  5. Wisesa (bijaksana, berwibawa, mudah menaklukkan adharma)
  6. Srya (mendapat simpati/ disenangi)
Pribadi-pribadi yang dalam keadaan sad-guna akan membiaskan vibrasi pada kelompok masyarakat sehingga terwujudlah tatanan kehidupan yang satyam, siwam, sundaram.
Daftar Kepustakaan:
  1. Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, Cudamani, Yayasan Dharma Sarati Jakarta, 1990
  2. Weda Parikrama, G. Puja MA, SH, Lembaga Penyelenggara Penerjemah Kitab Suci Weda, Jakarta, 1977
  3. Apakah saya orang Hindu ? (Am I a Hindu ?) Ed. Visvanathan, Penerjemah: N.P. Putera dan Sang Ayu Putu Renny, PT Pustaka Manik Geni, Denpasar, 2000
  4. Dasar-Dasar Filsafat India, I.B. Putu Suamba, P.T. Mahabhakti, Denpasar, 2003
  5. Religion and Society, S. Radhakrishnan, Penerjemah Ida Bagus Gde Yudha Triguna, PT Mahabhakti, Denpasar, 2003
  6. Panggilan Upanisad (The call of the Upanisad): Bertemu Tuhan dalam diri, Rohit Mehta, Penerjemah Tjok. Rai Sudharta, Sarad, Denpasar, 2005
  7. Parasara Dharmasastra (Weda Smerti untuk Kaliyuga), I Wayan Maswinara, Penerbit Paramita, Surabaya, 1999
  8. Bagaimana menjadi Hindu (How to become a Hindu), Satguru Sivaya Subramuniyaswami, Penerjemah Ngakan Made Madrasuta, PT Percetakan Penebar Swadaya, 2005
  9. Indian Philosophy, Sarvepalli Radhakrishnan, and Charles A. Moore, Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1989
  10. Fruit of Karma, Prof. Dr. Suchitra Onkom, Asia Books Co., Ltd, Bangkok, Thailand, 1999

Read More......

Intelektual Hindu di Masa Depan

Intelektual Hindu di Masa Depan

Read More......

Kamis, 20 Januari 2011

Banten Tumpek Landep.

Banyak orang bertanya, apa saja banten takkala datang rahinan Tumpek Landep. Berikut ini jenis-jenisnya (sorohan) yang sederhana, karena harus disesuaikan lagi dengan kebiasaan setempat.

Sesayut Jayeng Perang
Kulit sesayut dari daunan dong, tumpeng putih memuncuk barak 2 buah. Tumpeng selem memuncuk putih 1 buah. Medasar beras triwarna (injin, baas barak, baas biasa). Be ati bungkulan, yeh asibuh, muncuk dadap 11, tulung urip apasang (2), kewangen 3 (tiga) sekar pucuk bang tirta asuhun keris mewadah sibuh.

Sesayut Kesuma Yuda
Beras mepisela padma medasar beras barak, kulit sesayut busung nyuh gading, penyeneng nagasari, nyuh gading ring tengah pinaka agung, tindakan sekar mancawarna, bawang putih padang kasna, prayascita dikelilingi antuk tumpeng pancawarna metanceb pucuk bang lima katih. Getih megoreng atakir, ati dan batukan (betukan ayam) megoreng pada metakir tirta pasupati, tirta betara, tirta sulinggih sesari 76.500 kepeng, tetebusan benang hitam.

Sesayut Pasupati
Tumpeng barak amusti, kulit tebasan antuk don andong 1 ring ajeng tumpange daksina, ring bilang samping tumpenge kulit peras medaging tumpeng barak dua, soda ajengan penek barak 2, tipat kelan, tipat tampulan asiki, sampeyan nagasari penyeneng peras canang antuk don andong. Maulam ayam biing (barak) jeroan megoreng wadah taku, takir keruh meserana kacang saur. matah apalet anggen ring segehan pasupati.

Segehan Agung Pasupati
Peras barak sodan barak (sampeyan canang don andong). Daksina tampi serobong, ketipat kelan, nasi kepelan 9 kepel metatakan don andong medaging ulam jeroan matah 9 takir raung ring sowang-sowang. Asep 9 katih, nasi wong-wongan barak 5, api takep 5.

Sesayut Guru
Kulit sesayut beras akulak metatah kain putih tampelan tetebu jinah 11 kepeng. Tumpeng guru, tulung 2, kewangen 1, peras alit, pesucian, pembersihan, penyeneng, sampeyan nagasari, meulam ayam putih mulus.

Banten lain:
ayaban, suci, byakawon +prayascita (anggen mereresik). Yening membanten ring mobil, genahang jayeng perang atanding.

Read More......

Tumpek Landep : Hari Raya Apa?

Mpu Jaya Prema Ananda

Umat Hindu etnis Bali akan merayakan kembali sebuah hari yang disebut Tumpek Landep. Persisnya adalah pada hari Sabtu 9 Oktober 2010 ini atau dalam istilah orang Bali disebut Saniscara Kliwon Wuku Landep. Seperti kebiasaan yang mulai berkembang, umat Hindu memberi sesajen yang ditaruhnya di semua benda dan peralatan yang terbuat dari besi, terutama sekali yang menyolok saat ini adalah kendaraan, baik roda dua maupun roda empat dan lebih dari itu seperti truck, misalnya.

Bukan itu saja. Peralatan lain seperti kulkas, komputer, kompos gas dan semuanya yang dari besi dihaturkan sesajen. Termasuk pula handphone. Lalu, cobalah iseng ditanya pada orang-orang Bali itu, siapa dewa yang dipuja di sana? Tak banyak yang bisa menjelaskan. Orang-orang Bali memang masih banyak yang sebatas itu menjalankan agama: pertama berdasarkan ungkapan khas “nak mule keto” (karena begitu ditemukan dari dulu) dan sekarang ditambah dengan “ikut-ikutan”, orang Bali bilang: yen sing milu lek atine (kalau tak ikutan, malu).

Tumpek Landep adalah sebuah hari pemujaan yang penting. Karena itu pula, piodalan di Pura Manikgeni, Desa Pujungan (bersebelahan dengan Pasraman Dharmasastra Manikgeni) dilangsungkan pada hari itu, dari pagi sampai pagi esoknya. Mau datang? Silakan sambil mampir di Pasraman Manikgeni yang mempunyai Taman Baca dengan ribuan koleksi buku.
Tumpek Landep tak berdiri sendiri – hampir semua hari-hari suci umat Hindu saling berkaitan. Tumpek Landep dimulai cikal-bakalnya pada Hari Raya Saraswati, yaitu hari turunnya ilmu pengetahuan. Dewi Saraswati dipuja di sini karena Beliau yang menurunkan ilmu pengetahuan. Esoknya, orang-orang mulai melakukan pembersihan diri agar ilmu pengetahuan itu bisa masuk kedalam jiwa dengan tanpa hambatan. Orang kotor – baik kotor rohani maupun kotor phisik—akan sulit menimba ilmu pengetahuan, apalagi pengetahuan suci. Demikian seterusnya sampai suatu saat orang yang ingin mendapatkan ilmu suci itu wajib melakukan peneguhan diri, memagar dirinya dari niat dan prilaku jahat, agar ilmu pengetahuan itu menjadi lebih mantap. Pagerwesi, adalah simbul dari pagar yang maha kuat untuk peneguhan diri itu. Setelah ilmu pengetahuan suci diperoleh dan jiwa bersih plus ada rambu-rambu pagar dari wesi (simbol logam berat) silakan ilmu itu dipelajari.

Sepuluh hari setelah itu adalah simbol untuk pemantapan, dan itulah hari yang disebut Tumpek Landep. Pengetahuan atau ilmu suci itu harus dikukuhkan, dipasupati, diwinten, agar ilmu itu terus bermanfaat dan terus runcing sehingga bisa dimanfaatkan untuk membedah segala masalah yang ada di dunia ini. Runcingkan (landep) ilmu itu dengan memberkahi semua peralatan yang dipakai untuk menimba ilmu itu agar tetap memiliki kekuatan tak ternilai (taksu).

Jadi, pada Tumpek Landep ada dua hal penting: pertama pasupati, peralatan dipasupati agar terus memberikan khasiat. Kedua pewintenan, penyucian diri. Itu sebabnya banyak Sulinggih yang melakukan acara pewintenan pada saat Tumpek Landep, misalnya, Ida Pandita Mpu Dwija Kerti di Gria Seririt setiap Tumpek Landep mewinten puluhan pemangku. Semua ini dilakukan agar peralatan dan diri kita tetap punya “taksu”.

Lalu apa yang dipasupati? Pisau, karena ini peralatan penting. Setiap menyelenggarakan ritual upacara, pisau pasti alat yang paling berguna. “Ilmu mejejahitan” tak lepas dari pisau. Tombak, keris, dan sebagainya juga patut dipasupati kembali. Peralatan upacara juga, misalnya sangku, bajra dan sebagainya. Jika sudah berstatus Sulinggih, tentu semua siwakrana sang Sulinggih dipasupati pula pada hari itu.

Apakah mobil. komputer, radio, televisi juga dipasupati? Ya, silakan saja, tak ada yang melarang tak ada yang mengharuskan. Semuanya bisa saja dikait-kaitkan. Bukankah mobil adalah sarana yang penting untuk mencari ilmu pengetahuan? Kalau tak ada mobil atau motor, bagaimana bisa kuliah? Komputer bahkan sarana mendapatkan ilmu pengetahuan, kalau dimanfaatkan dengan baik lewat internetnya. Radio dan televisi adalah sumber informasi di mana ilmu pengetahuan berseliweran.

Yang penting adalah: jangan sampai mobil, radio, televise dan lainnya itu diberi sesajen yang utama, sementara peralatan melakukan yadnya seperti pisau, pengutik dan simbol kesakralan seperti tumbak, keris dan banyak lagi dilupakan. Kalau sesajen tidak banyak harus ada yang prioritas. Prioritas itu adalah “senjata kehidupan”, bukan “alat penunjang”.

Jadi kalau pada Hari Saraswati kita memuja turunnya ilmu pengetahuan, Pager Wesi membentengi diri dari pengaruh negatif agar ilmu itu bermanfaat, Tumpek Landep kita mulai jadikan ilmu itu sebagai senjata untuk memperbaiki kwalitas diri maupun pengamalan diri.

Apa saja banten Tumpek Landep? Banten adalah simbol, tentu sangat terkait juga pada dresta (kebiasaan) setempat. Orang Bali umumnya membuat dengan rangkain (sorohan) seperti ini: Sesayut Jayeng Perang, Sesayut Kesuma Yudha, Sesayut Pasupati, Segehan (Agung) Pasupati, Sesayut Guru selain banten dasar untuk pembersihan (mereresik) seperti byakawon, prayascita dan sebagainya, termasuk ayaban dan suci yang disesuaikan dengan peralatan yang diupacarai. Kiranya ini tak usah dirinci, kalau ingin tahu buka blog Mpu Jaya Prema Ananda (http://mpuprema.blogspot.com)

Bagaimana dengan puja atau mantramnya? Wah, soal itu, pemangku atau orang yang dituakan bisa melakukan improvisasi dengan baik, dan ini biasa disebut sehe atau sesontengan. Ingat selalu, Tuhan tahu semua bahasa. Dalam beryadnya yang penting ketulusan dan keiklhasan, bahasa bukan kendala. Pakai bahasa hati juga tak masalah.

Namun, karena inti Tumpek Landep adalah mepasupati peralatan dan mewinten, baiklah dikutip dua mantra. Tentang Pasupati banyak ada jenis mantranya, di sini dikutip yang paling mudah dihafal, karena hanya “ngider bhuana” saja, yang penting kita hafal letak senjata dan nama arah anginnya.

PANCA-PASUPATI-STAWA

Om, Pasupati wajra-yudhaya, Agni raksasa rupaya, Purwa-desa mukha-sthanaya, Om, Pasupataye, Hung-Phat.

Om, Pasupati Dandha yudhaya, Agni raksasa rupaya, Daksina-desa mukha-sthanaya,Om, Pasupataye, Hung-Phat.

Om, Pasupati Pasa-yudhaya, Agni raksasa rupaya, Pascima-desa mukha-sthanaya, Om, Pasupataye, Hung-Phat.

Om, Pasupati Cakra-yudhaya, Agni raksasa rupaya, Uttara-desa mukha-sthanaya, Om, P asupataye, Hung-Phat.

Om, Pasupati Padma-yudhaya, Agni raksasa rupaya, Madhya-desa mukha sthanaya, Om, Pasupataye, Hung-Phat.

Om, Sri-Pasupati Aksobya ya namah swaha.
Om, Sri-Pasupati Ratnasambhawa ya namah swaha.
Om, Sri-Pasupati Amitabha ya namah swaha.
Om, Sri-Pasupati Amogha siddhi ya namah swaha.
Om, Sri-Pasupati Wairocana ya namah swaha.

Untuk Pewintenan, bisa dipakai Ghana Pati Stawa berikut:

Om, Ghana-pati-rsi-putram, Bhuktyantu weda-tarpanam, Bhuktyantu Jagat-tri-lokam, Suddha-purna-śariranam.

Om, Sarwa-wiśa-winasanm, Kala-Durga-durgi-pati, Marana-mala murcyate, Tri-Wristi pangupa jihwa,

Om, Gangga-Uma stawa-siddhi, Dewa-Ghana guru-putram, Sakti-wiryam loka-śriyam, jayati labhãnugrahakam.

Om, Astu-astu ya namah swaha.

Read More......

BENCANA

Putu Setia (Mpu Jaya Prema Ananda)
Belum sempurna pantat ini menyentuh kursi, Romo Imam sudah mengajukan pertanyaan: “Bagaimana bunyi sila pertama Panca Sila yang menjadi dasar negara?”

Saya tercengang. Jawaban itu tentu saja mudah. Yang sulit adalah mencari tahu ada apa di balik pertanyaan itu. “Kenapa Romo menanyakan hal itu?” saya balik bertanya.


“Pertanyaan ini jauh lebih bermutu dari tes calon pegawai negeri Kementerian Perdagangan. Apa kaitannya pegawai yang ngurusi harga bawang merah ini dengan lagu ciptaan Presiden SBY? Kenapa tidak sekalian ditanyakan, apa parfum yang biasa dipakai Ibu Ani Yudhoyono. Pertanyaan konyol. Tapi pertanyaan saya serius, jawab.”

Sorot mata Romo membuat saya kecut dan akhirnya saya menjawab: “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Romo tertawa senang, lalu berdiri: “Benar, dan bukan Keuangan Yang Maha Kuasa. Sekarang yang berkuasa itu uang, kalau punya uang berbuat apa saja bisa. Ketuhanan Yang Masa Esa, bukan Keuangan Yang Maha Kuasa. Tapi, kenapa jarang sekali ini dijadikan ‘dasar’, padahal ini sila pertama?”

Saya tak paham, untung Romo melanjutkan: “Kalau benar orang Indonesia menjadikan Ketuhanan Yang Masa Esa sebagai dasar falsafah hidup yang pertama, kenapa setiap ada masalah tak pernah merujuk pada kekuasaan Tuhan? Jika ada masalah yang menimbulkan korban, maka alam dijadikan kambing hitam, istilahnya pun disebut bencana alam. Padahal alam yang diciptakan Tuhan tak mungkin memberI bencana, alam diciptakan untuk dinikmati sepenuhnya oleh isi alam.”

Saya masih tak paham dan membiarkan Romo bicara terus. “Alam itu diciptakan dalam konsep keseimbangan. Begitu keseimbangan dirusak, alam mencari keseimbangan baru. Kalau hutan dibabat, tanah yang tak dilindungi pohon itu akan mencari keseimbangan baru untuk menguatkan posisinya. Hutan yang rusak juga membuat air tanah di sana “tak nyaman”, lalu air di tanah itu mencari keseimbangan baru. Dalam proses pencarian itu, terjadi tanah longsor dan banjir bandang. Kenapa itu disebut bencana oleh manusia?”

Wah, saya tak mudah mencerna filsafat alam seperti ini. Saya masih diam. “Saya memuji orang Bali yang selalu menjaga keseimbangan alam dengan ritual yang memuja alam. Misalnya, pohon diberi sesajen, danau diberi sesajen dan sebagainya,” kata Romo.

Yang ini saya paham, makanya saya nimbrung: “Romo benar, orang Bali menjaga alam dengan banyak ritual. Pohon diberi sesajen, sesungguhnya agar pohon itu tak mudah ditebang orang yang haus kayu. Tapi, orang Bali menjadi sibuk menjelaskan konsep keseimbangan alam ini, karena belum apa-apa sudah dituduh klenik, mistik, memuja berhala. Padahal yang dipuja adalah Tuhan dengan ciptaan-Nya.”

Romo menyela: “Inti yang mau saya katakan adalah mari sesekali kita menoleh kepada kekuasaan Tuhan, karena bukankah ini sila pertama dasar negara kita? Siapa tahu kita banyak berbuat salah. Kita membabat hutan, banjir datang. Kita menguras air tanah, ambles datang. Jika kita menyadari ada yang salah, mari kita bertobat. Kita lakukan ruwatan nasional.”

Saya memotong: “Betul Romo, kita lakukan intropeksi mengacu kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kereta api tabrakan terus, jangan-jangan pejabat yang mengurusi perhubungan moralnya cela di mata Tuhan. Bus wakil rakyat tabrakan, jangan-jangan para wakil rakyat banyak yang berdusta. “

Romo terpingkal-pingkal. “Kalau itu diperpanjang, jadi banyak. Bisa tak nyambung, bisa pula nyambung. Tapi ada baiknya kita sesekali berpikir: apa perlu melakukan pertobatan nasional dan minta ampun pada Tuhan, sembari memperbaiki moral kita bersama-sama?”

(Koran Tempo 17 Oktober 2010)

Read More......

Bersembahyang ke Leluhur

BERSEMBAHYANG KE LELUHUR
Oleh : Mpu Jaya Prema Ananda

Bersembahyang bisa di mana saja. Di kamar bisa, di ruang tamu dengan menggelar tikar. juga bisa. Di ruang kelas pun bisa, apalagi buat pelajar. Bersembahyang di kamar kerja, bagi pegawai negeri dan karyawan swasta, juga sudah biasa dilakukan di kota-kota besar seperti di jakarta. Dulu, ketika saya masih jadi wartawan dan berkantor di Majalah Tempo Jakarta, saya biasa bersembahyang di ruang kerja. Kalau di luar ada suara hiruk pikuk yang mengganggu konsentrasi, saya biasanya memutar kaset tabuh gong atau kidung yadnya. Tujuannya adalah membawa pikiran pada satu fokus yang paling memungkinkan untuk mencapai suasana religius.

Kalau bersembahyang bisa di mana saja, asal jangan di per¬empatan jalan yang lagi ramai lalu lintasnya, untuk apa umat Hindu mengun¬jungi pura? Kenapa umat berduyun-duyun pergi ke Pura Tri¬kahyangan pada saat Hari Raya Galungan? Kenapa Pura Luhur Batukaru penuh sesak pada saat Manis Galungan? Begitu pula Pura Lempuyang Luhur, umat parkir jauh sekali dan berjalan naik ke bukit. Dan apa pula penyebabnya umat berbondong-bondong datang ke Kintamani, bukan untuk melihat Danau Batur, tetapi bersem¬bahyang ke Pura Ulun Danu pada Purnama Kedasa? Kenapa umat Hindu memenuhi Pura Dasar Bhuwana di Gelgel pada Pemacekan Agung dan berbondong-bondong ke Pura Sakenan pada hari Kuningan?

Jelas ada daya tariknya, kenapa pura dikunjungi. Yang pertama-tama dalam pikiran masyarakat tradisional adalah pura itu “tempat tinggal” Sesuhunan, stana Ida Bethara, Dewa, Hyang Widhi. Umat tak perlu lagi memerinci apa beda Dewa, Bethara, dan Hyang Widhi itu. Kebanyakan umat hanya tahu ke pura untuk bersembahyang, tak menghiraukan dengan teliti apakah persembahyangan itu di depan meru, balai gedong, atau padmasana. “Sembahyang untuk memuja Tuhan,” kata keponakan saya yang baru kelas dua SD. Bagi dia sama saja, bersembahyang di merajan, di Pura Puseh, di Pura Ulun Danu Batur, di Pura Besakih, semuanya memuja Tuhan.

Dalam setiap kesempatan mengisi dharmatula, saya selalu menyarankan, jika kita mengunjungi pura (tirthayatra) hendaknya dengan cara-cara yang dikehendaki oleh para leluhur kita, yakni pikiran kita sudah dibawa ke alam keheningan sebelum sampai di pura. Apa maksudnya?

Para leluhur kita mendirikan pura atau meninggalkan warisan tempat suci yang kemudian oleh pengikutnya dibangun pura, lebih banyak di tempat-tempat di mana orang harus melakukan “perjalanan penuh rintangan” sebelum sampai ke pura itu. Pura Ulun Danu Batur (yang “asli” di Songan), sebagaimana namanya, berada di pinggir danau, yang dahulu kala harus dicapai dengan berjalan kaki di terjal-terjal. Pura Lempuyang (baik di Luhur maupun di Madya) dibangun di puncak gunung, di mana orang harus datang ke sana melewati jalan yang kiri kanannya tebing curam. Pura Sakenan berada di tengah pulau, dan umat yang datang harus naik perahu atau berjalan kaki dengan memperhitungkan naik turunnya air laut. Begitu pula Pura Tanah Lot berada di karang yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala bisa pasang. Apa yang dimaui para leluhur kita di masa lalu itu? Kenapa tidak membangun pura di tempat pemukiman biasa saja, seperti Mpu Kuturan menganjurkan membuat Pura Trikahyangan dan “pura moderen” seperti Pura Jagatnatha?

Jawabnya adalah para leluhur itu ingin umat yang datang menyadari adanya “rintangan” dalam perjalanan itu. Dengan adanya “rintangan” itu, umat sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi atau leluhur kita yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sembah di sana. “Rintangan” itu tak lain adalah cara tak langsung untuk melakukan japa dan juga samadhi, sehingga begitu sampai di pura, pikiran otomatis sudah terfokus dan persembahyangan langsung bisa dimulai.

Sekarang “rintangan” itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia moderen. Pulau Serangan di mana Pura Sakenan berada, sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu umat bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah. Anak-anak menangis minta mainan dan ibunya membentak terus. Suasana ngedumel dan tangisan dibawa langsung masuk pura. Pikiran apakah yang dibawanya ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang oleh Pemangku? Tak lain adalah pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal dulu, ketika kita pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di tujuan. Begitu ada ombak, meski kecil, orang berdoa. Suasana khusuk doa dibawa ke jeroan pura.

Beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum saya menjadi pandhita, saya punya kisah yang bisa dikenang ketika sekeluarga ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel pas di hari Pemacekan Agung. Bayangkan betapa ramainya. Anak saya kecil, berdesak-desakan. Ada yang mendorong dari belakang, istri saya yang melindungi anak saya, kena sikut mukanya. Ia menegor lelaki yang menyikutnya. Lelaki itu tersinggung dan marah, lalu istri saya ikut marah. Apa yang saya lakukan? Saya menarik tangan istri saya dan anak saya keluar dari kerumunan, lalu duduk di balai gong. Anak saya bertanya, kenapa mengaso? Saya jawab, apa gunanya bersembahyang ketika pikiran masih dipenuhi rasa marah dan dendam? Kami istirahat sejenak, mendengarkan bunyi gamelan, setelah pikiran tenang baru masuk ke jeroan.

Sekarang ini pengaturan masuk di Pura Dasar Gelgel di hari Pemacekan Agung sudah berlapis tiga dan mulai tertib. Tetapi masih saja ada dorong-mendorong, dan ada maki-makian di antara pengunjung. Suasana seperti ini hampir terjadi di setiap pura kalau ada pujawali besar. Termasuk Pura Besakih. Penyebabnya adalah kawasan suci pura sudah semakin sempit. Dan manusia-manusia moderen sudah mempersempitnya lagi dengan memberikan akses masuk bagi kendaraan, pedagang, dan sebagainya ke lokasi pa¬ling dekat pura. Akibatnya, umat ke pura selalu dalam posisi “grasa-grusu” (tergesa-gesa dengan cara sembrono).

Namun, di luar kesulitan dan keruwetan itu, sudah saatnya umat diberikan pengertian hal yang paling mendasar, seperti bagaimana etika mengunjungi pura, dan siapa yang dipuja di pura itu. Jika perlu siapkan buku sejarah mengenai pura itu yang bisa dijual dengan harga yang terjangkau. Pura besar di Bali termasuk Pura Lempuyang Madya semuanya punya sejarah, dan ini harus diketahui umat. Kalau tidak, akan muncul generasi “anak mula keto” jilid dua: generasi yang tak bisa menjelaskan apa-apa mengenai ritual dan agamanya sendiri.

Tantangan bagi kita semua untuk menerbitkan buku sejarah tentang pura, tentu termasuk di dalamnya tentang ketokohan Rsi Agung kita yang pernah berstana di pura itu, yang kini kita puja. Karena dengan cara itulah kita menjadi tahu, apa bedanya bersembahyang di kamar dengan bersembahyang jauh-jauh ke atas bukit di Pura Lempuyang Madya, misalnya. Sebagai umat Hindu kita memang memuja Tuhan (Hyang Widhi), tapi kita juga memuja leluhur, dan keduanya beda.

Read More......

PENCERAHAN

Untuk pencerahan dan kedamaian umat manusia. --Dari Pasraman Dharmasastra Manikgeni, Bali--


Diksa pariksa PHDI :Apakah  Berhak Tak Meluluskan  Calon Pandita?


(Tulisan ini untuk urun rembug Pesamuan Agung MGPSSR 25 Desember 2010 yang dimuat Tabloid Suara Pasek)

Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Pesamuan Agung Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) yang berlangsung 25-26 Desember 2010 ini membahas secara mendalam masalah diksa. Bagaimana pedoman diksa untuk kalangan warga Pasek, bagaimana persyaratan diksa, bagaimana menentukan Guru Nabe, semuanya akan dibahas secara mendalam. Sungguh materi yang sangat luas namun harus berhasil dirumuskan untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Ketentuan yang penting ini harus ada dasar hukumnya dan kemudian menjadi acuan dalam pelaksanaannya.

Saya tak ingin mengomentari masalah itu, biarlah hal ini menjadi perdebatan di antara Guru Nabe atau Pandita Mpu lain yang lebih senior dan punya wawasan yang luas, baik wawasan yang didapat dari penjelajahan tatwa maupun wawasan karena pengalaman sebagai pelayan umat di masyarakat. Saya menaruh hormat pada gagasan menyusun pedoman padiksan tersebut agar kelak bisa dipakai acuan bersama.

Saya hanya menyoroti satu hal kecil saja, ibarat sebutir pasir di sebuah lautan pasir. Mungkin hal ini tak ada artinya. Yakni, masalah keterlibatan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota/Kabupaten yang melakukan Diksa Pariksa terhadap calon sulinggih, dalam hal ini ketika calon sulinggih itu berstatus Ida Bhawati. Praktek di lapangan selama ini, Diksa Pariksa PHDI Kota/Kabupaten itu dilakukan dengan sistem ujian. Calon sulinggih diuji oleh pengurus PHDI atau yang ditunjuk. Calon sulinggih mendapat pertanyaan yang harus dijawab dan kemudian diberi nilai. Setelah semua pertanyaan dijawab, PHDI kemudian mengumpulkan nilai itu, lalu keluar keputusan; “Lulus”. Atau “Tak Lulus”.

Saya tak tahu, bagaimana kalau misalnya calon sulinggih itu “tak lulus”, apakah pediksan dibatalkan atau ditunda? Saya pernah mendengar selentingan -- tapi tak jelas di mana itu -- bahwa PHDI Kabupaten pernah tak meluluskan calon sulinggih, tetapi upacara pediksan tetap saja berlangsung karena banten dan rentetan upacara sudah disiapkan. Pertanyaannya, apa artinya kata “tak lulus”, lalu bukankah wibawa PHDI jadi dilecehkan karena tak ada arti apa-apa dari konsekwensi Diksa Pariksa itu?

Ketika saya menjalani Diksa Pariksa, tim dari PHDI Kabupaten Tabanan yang kebetulan tak ada warga Pasek (unsur warga Pasek seperti Wayan Tontra berhalangan), dalam hati kecil saya muncul pertanyaan: bagaimana kalau saya “dipermainkan” lalu dinyatakan tak lulus? Saya cuek saja, lulus atau tidak saya akan tetap mediksa. Alasan saya, apa yang dilakukan PHDI itu melanggar Bhisama PHDI Pusat. Syukurlah saya dinyatakan lulus dan ternyata ketua tim penguji itu -- Ida Pedanda dari Taman Sari, Tabanan-- adalah teman sekelas di sekolah menengah pertama.

Yang menarik, dalam pedoman Pediksan Pandita Mpu yang dirumuskan oleh Sabha Pandita MGPSSR, ternyata wewenang PHDI Kota/Kabupaten untuk meluluskan atau tak meluluskan calon sulinggih dibenarkan. Dalam alur “Prosedur Menjadi Pandita Mpu” disebutkan, setelah calon sulinggih lulus Diksa Pariksa yang diadakan Sabha Pandita MGPSSR dikeluarkan rekomendasi ke PHDI Kota/Kab untuk melakukan Diksa Pariksa. PHDI Kota/Kab setelah mendapat rekomendasi kelulusan itu, melakukan Diksa Pariksa, hasilnya adalah bisa lulus atau ditunda.

Ini yang saya sebutkan melanggar Bhisama PHDI Pusat. Pertanyaan saya, apakah Sabha Pandita MGPSSR tak tahu ada bhisama itu, apakah PHDI Kota/Kab juga tak tahu adanya bhisama itu, atau kita semua cuek dan tak taat pada apa yang sudah diatur sebelumnya?

Hak Penuh Aguron-Guron
Bhisama yang saya maksudkan berjudul lengkap: “Bhisama Sabha Pandita PHDI Pusat No. 04/BHISAMA Sabha Pandita Pusat/V/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa Dviyati” dikeluarkan pada 7 Mei 2005. Bhisama ditandatangani oleh Dharma Adhyaksa PHDI Pusat Ida Pedanda G.K. Sebali Tianyar Arimbawa dan Wakil Dharma Adhyaksa PHDI Pusat Ida Pandita Mpu Jaya Suta Reka.

Setiap bhisama di PHDI Pusat dibahas dan disiapkan oleh Sabha Walaka yang merupakan pemikir majelis umat Hindu itu. Kebetulan saat itu saya sudah duduk di Sabha Walaka PHDI Pusat, jadi saya tahu masalahnya.

Pada bagian “Menimbang” disebutkan, bhisama ini adalah penyempurnaan dari Ketetapan Sabha II PHDI Pusat tahun 1968 tentang tata keagamaan/pendeta dan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu ke XIV tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa. Kenapa disebut penyempurnaan? Karena dua ketetapan itu dianggap tak sesuai lagi dengan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Jadi kalau PHDI sudah menganggap ketetapan itu perlu disempurnakan, kenapa kita warga Pasek masih mengacu ke sana?

Inti dari Bhisama tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa Dwijati tahun 2005 ini adalah, diksa merupakan salah satu kewajiban umat Hindu yang sebaiknya dilaksanakan pada waktu kehidupan di dunia ini sebagai wujud tahapan hidup dan peningkatan kualitas sradha, bhakti dan yasa kerti. Jadi, tak ada diksa dilakukan pada saat orang itu sudah meninggal dunia.

Dalam lampiran bhisama ini dijelaskan dengan rinci tentang kedudukan dan fungsi diksa. Saya tak ingin memerinci masalah ini. Juga yang sangat penting diuraikan di sini adalah kedudukan Guru Nabe (acharya) dengan calon diksita atau murid atau sisya. Dikutip berbagai kitab suci, terutama Atharwa Weda yang menjelaskan hubungan spiritual antara Guru Nabe dan calon diksita.

Apa kesimpulannya? Saya kutip seutuhnya: “Dalam lembaga diksa dwijati, kedudukan Guru Nabe begitu sentralnya, yakni memiliki hak prerogatif terhadap sisya-nya agar tak terjadi pengingkaran terhadap sasana atau dharmaning kawikon”.

Hak prerogatif di sini mencakup kapan calon diksita itu akan didiksa. Kapan seorang Ida Bhawati -- kalau dalam sitem aguron-aguron warga pasek -- siap untuk diksa dwijati menjadi Pandita Mpu. Artinya, lulus dan tidaknya calon sulinggih itu tergantung Guru Nabe.

Nah, meski pun Guru Nabe punya hak prerogatif, dalam pelaksanaan diksa, PHDI Pusat menyerahkan sepenuhnya hak itu kepada sistem aguron-guron. Disebutkan dalam lampiran bhisama itu (lampiran ini merupakan penjelasan), segala persyaratan khusus dan mekanisme pelaksanaan diksa, atribut serta abhiseka kepanditaan sepenuhnya diserahkan kepada sistem aguron-guron yang diikuti oleh calon diksita.

Jadi, tak ada lembaga apapun yang bisa mencampuri pelaksanaan diksa ini, di luar aguron-guron itu. Jika seorang Guru Nabe merasa perlu seorang calon diksita diuji (diksa pariksa), maka yang berhak menguji dan meluluskan atau tidak adalah lembaga di dalam sistem aguron-guron itu. Di kalangan warga Pasek, Guru Nabe dengan rendah hati menyerahkan calon diksita untuk di-diksa pariksa, dan ini telah kita setujui bersama. Saya setuju hal ini dipertahankan, meski hak prerogatif itu ada pada Guru Nabe, sebagai lembaga aguron-guron MGPSSR melalui Sabha Pandita wajib melakukan seleksi atau menguji calon diksita. Bagaimana pun juga, seorang Guru Nabe adalah manusia biasa yang belum sempurna.

Lalu, apa peran PHDI? Saya kutip lengkap lampiran bhisama ini bagian peran PHDI itu. “Dalam proses pelaksanaan diksa dwijati, PHDI berkewajiban memberikan dukungan administrasi dalam rangka diksa pariksa dan rekomendasi setelah pelaksanaan diksa pariksa yang dipimpin oleh Guru Nabe atau yang ditunjuk, serta menerbitkan sertifikat setelah ada pernyataan dari Guru Nabe.”

Tidak ada disebutkan PHDI melakukan ujian atau test terhadap calon diksita. Diksa Pariksa yang dilakukan PHDI adalah dalam arti yang sebenarnya, “memeriksa kelengkapan diksa” dalam hal administrasi. Misalnya, apakah sudah ada keterangan dari kepolisian bahwa calon diksita tak pernah melakukan tindak pidana, apakah ada surat keterangan sehat, apakah pemberitahuan ke lembaga-lembaga adat dan agama sudah dilakukan. Jadi hanya sebatas administrasi dan kemudian jika itu sudah lengkap, PHDI memberikan rekomendasi bahwa pelaksanaan dwijati bisa dilakukan.

Jika perlu -- begitu ide awal bhisama ini -- kalau calon diksita kekurangan biaya untuk urusan pediksan, PHDI sebagai majelis dan pengayom umat akan mencarikan jalan keluar. Ini hal yang umum, karena PHDI satu-satunya majelis umat Hindu yang anggarannya bisa dimasukkan APBD dan APBN. Di luar Bali sudah umum dalam pelaksanaan diksa ini pemerintah kabupaten dan provinsi memberikan bantuan. Warga Pasek yang mau mediksa dwijati dan memenuhi syarat oleh Guru Nabe dan aguron-aguronnya, seharusnya jangan malu meminta bantuan biaya dari pemerintah melalui PHDI, karena tugas pemerintah dan PHDI adalah mengayomi umat. Cuma banyak yang rikuh. Ketika saya mediksa dwijati, saya pun juga rikuh dan saya tak pernah meminta bantuan kepada siapa pun, termasuk pemerintah. Tetapi, rupanya pemerintah (Bupati dan Gubernur) “tahu diri” juga, kalau saya adalah rakyat pembayar pajak, jadi saya tetap mendapat bantuan. Astungkara dan suksma -- ini hanya contoh selingan saja.

Demikianlah kedudukan bhisama PHDI Pusat yang digagas Sabha Walaka bersama Sabha Pandita PHDI di Denpasar pada tahun 2005 itu, yang sangat menghormati sekali sistem aguron-guron dan tak ingin mencampuri urusan diksa dwijati. Karena PHDI menyadari kalau urusan ini dicampuri akan menjadi masalah besar. Persoalannya, apakah bhisama ini sudah disosialisasikan di masyarakat? Kenapa PHDI Kota/Kab masih melakukan ujian (tes) dan kenapa Sabha Pandita MGPSSR juga mengakui keberadaan tes itu, sehingga masih dimasukkan dalam alur “Prosedutr Menjadi Pandita Mpu”? Kalau demikian, apa gunanya ada bhisama?

Mari kita hormati bhisama Parisada karena kita sebagai warga Pasek tak bisa lepas dari Parisada sebagai majelis umat. Apalagi bhisama itu juga ditandatangani oleh wakil Dharma Adhyaksa yang merupakan Pandita Mpu Nabe yang kita hormati di kalangan warga Pasek.

Tahun depan, PHDI Pusat menyelenggarakan Mahasabha, mari kita terlibat lebih jauh dalam Parisada. Kalau selama ini Pandita Mpu hanya “mampu sebatas’ Wakil Dharma Adyaksa, siapa tahu tahun 2011 kelak, kedudukan tertinggi di Parisada itu dipegang oleh Pandita Mpu. Kenapa tidak? Kita punya banyak Pandita Mpu yang cendekiawan sekaligus rohaniawan, ada profesor, ada doktor, kapan lagi tampil?

Read More......

Rabu, 19 Januari 2011

Banten Sebagai Pengganti Mantra

Banten Sebagai Pengganti Mantra

Read More......

Selasa, 18 Januari 2011

Bali For The World

Pembangunan Pura Pertama di Eropa

pembangunan pura pertama di eropa 1 Pembangunan Pura Pertama di Eropa
pembangunan pura pertama di eropa 2 Pembangunan Pura Pertama di Eropa

Read More......

Sanggah Pamerajan - Seri III

Pelinggih-pelinggih umum yang terdapat di Sanggah Pamerajan adalah stana dalam niyasa Sanghyang Widhi dan roh leluhur yang dipuja:
1. Padmasana/ Padmasari: Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa.
2. Kemulan Rong Tiga: Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma – Wisnu – Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru.
Ada juga kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Arda nareswari), rong 4 (Catur Dewata), rong lima (Panca Dewata).
3. Sapta Petala: Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis: patala, witala, nitala, sutala, tatala, ratala, satala.  Sapta petala juga berisi patung naga sebagai simbol naga Basuki, pemberi kemakmuran.
4. Taksu: Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan.
5. Limascari & Limascatu: Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai ardanareswari: pradana – purusha, rwa bhineda.
6. Pangrurah: Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu.
7. Manjangan Saluwang: Pelinggih sebagai penyungsungan Mpu Kuturan, mengingat jasa-jasa beliau yang meng-ajegkan Hindu di Bali.
8. Raja-Dewata: Pelinggih roh para leluhur (di bawah Bhatara Kawitan).

Read More......

Sanggah Pamerajan - Seri II

1. Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi 3:
  1. Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil)
  2. Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’/ garis keturunan)
  3. Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama)
2. Pelinggih di Sanggah Pamerajan (SP):
  1. SP Alit: Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu
  2. SP Dadia: Padmasana, Kemulan Rong Tiga, Limas Cari, Limas Catu, Manjangan Saluang, Pangrurah, Saptapetala, Taksu, Raja Dewata
  3. SP Panti: SP Dadia ditambah dengan Meru atau Gedong palinggih Bhatara Kawitan
Palinggih-palinggih lainnya yang tidak teridentifikasi seperti tersebut di atas, disebut ‘pelinggih wewidian’, yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura lain, misalnya dari Pura Pulaki, Penataran Ped, Bukit Sinunggal, dll, maka dibuatkanlah pelinggih khusus berbentuk limas atau sekepat sari.
Pada beberapa SP sering dijumpai pelinggih wewidian ini jumlahnya puluhan, berjejer. Namun disayangkan karena leluhur kita di masa lampau terkadang lupa menuliskan riwayat hidup beliau, sehingga keturunannya sekarang banyak yang tidak tahu, pelinggih apa saja yang ada di SP-nya.

Read More......

Sanggah Pamerajan - Seri I

1. Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar = tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja = keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan, artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu.
Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek: Sanggah atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan.
2. Sanggah Pamerajan, ada tiga versi:
  1. Yang dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan (Trimurti). Pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/ Padmasari.
  2. Yang dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta (Tripurusha). Pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/ Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala.
  3. Kombinasi keduanya. Biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di ‘hulu’, namun di sebelahnya ada pelinggih Kemulan.
Trimurti adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, di mana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.
Tripurusha adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, di mana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.
Yang mana yang baik/ tepat ?
1. Menurut keyakinan anda masing-masing.
2. Namun ada acuan, bahwa konsep Mpu Kuturan disebarkan di Bali pada abad ke-11. Konsep Danghyang Nirarta dikembangkan di Bali sejak abad ke-14, berdasarkan wahyu yang diterima beliau di Purancak/ Jembrana.
3. Jadi menurut pendapat saya, memakai kedua konsep, atau kombinasi a dan b adalah yang tepat karena kita menghormati kedua-duanya, dan kedua-duanya itu benar, mengingat Sanghyang Widhi ada di mana-mana, baik dalam kedudukan horizontal maupun dalam kedudukan vertikal.
    Namun demikian tidaklah berarti Sanggah Pamerajan yang sudah kita warisi berabad-abad lalu dibongkar, karena dalam setiap upacara, toh para Sulinggih sudah ‘ngastiti’ Bhatara Siwa Raditya (Tripurusha) dan juga Bhatara Hyang Guru (Trimurti).

    Read More......

    Pura dan Sanggah Pamrajan


    1. PENDAHULUAN
    Suatu ciri utama kehidupan dalam ber-Agama Hindu adalah percaya dan bakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan-Nya tidak terbatas sedangkan kemampuan manusia sangat terbatas.
    Manusia dalam ketidaksempurnaannya selalu ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa agar memperoleh perlindungan dan petunjuk dalam menempuh kehidupan. Mereka yang memahami pengertian ini menjadi manusia yang mulia karena senantiasa mengutamakan ke-Tuhanan dalam tatanan kehidupannya.
    Dalam Bhagwadgita dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia berdasarkan yadnya dan sebagai sumber kehidupan manusia Tuhan menciptakan alam. Oleh karena itu selalu diupayakan menjaga keharmonisan antara: Tuhan – Manusia – Alam melalui yadnya.
    Manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan jalan yadnya memerlukan sarana antara lain Pura dan Sanggah Pamrajan.
    2. PENGERTIAN PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN
    Pura berasal dari Bahasa Sanskerta, yaitu “Phur”, artinya tempat suci, istana, kota. Lebih khusus berarti tempat persembahyangan untuk umum atau kelompok sosial tertentu yang lebih luas sifatnya dari Sanggah Pamerajan.
    Sanggah berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga.
    Dalam Lontar Siwagama disebutkan bahwa Palinggih utama yang ada di Sanggah Pamrajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur. Untuk menguatkan kedudukan Kamulan, dibangun Palinggih-Palinggih lain sebagai berikut:
    1. Taksu: palinggih Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan daya majik agar semua pekerjaan berhasil baik.
    2. Pangrurah: palinggih Bhatara Kala, putra Bhatara Siwa dengan Bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga Sanggah Pamrajan.
    3. Sri Sdana atau Rambut Sdana: palinggih Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sdana atau Limascatu, yaitu sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia.
    4. Padma: palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya.
    5. Manjangan Salwang: palinggih Dewa Rsi Mpu Kuturan dengan Bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10 M
    6. Gedong Maprucut: palinggih Danghyang Nirarta dengan Bhiseka Limascari, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-15 M.
    7. Gedong Limas atau Meru tumpang satu, tiga, lima: palinggih Bhatara Kawitan, yaitu leluhur utama dari keluarga.
    8. Bebaturan: palinggih Bhatara Ananthaboga dengan Bhiseka Saptapetala, yaitu sakti Sanghyang Pertiwi, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai bumi.
    9. Bebaturan: palinggih Bhatara Baruna dengan Bhiseka Lebuh, yaitu sakti Bhatara Wisnu, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai lautan.
    10. Bebaturan: palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring Akasa, yaitu sakti Bhatara Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai angkasa.
    11. Gedong Limas: palinggih Bhatara Raja Dewata dengan Bhiseka Dewa Hyang atau Hyang Kompiang, yaitu stana para leluhur di bawah Bethara Kawitan yang sudah suci.
    12. Pengapit Lawang (dua buah di kiri-kanan Pamedal Agung): palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang.
    13. Balai Pengaruman: palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagai Balai Piasan (Pahyasan) karena ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.
    Catatan:
    • Di beberapa Sanggah Pamrajan sering dijumpai beberapa Gedong Limas kecil-kecil yang merupakan palinggih tambahan. Menurut sejarah para leluhur terdahulu yang kebanyakan didirikan untuk menyatakan terima kasih dan bhakti, misalnya ketika sakit memohon penyembuhan dari Ida Bhatara di Pulaki; setelah sembuh lalu mendirikan pengayatan Beliau di Sanggah Pamrajan, demikian selanjutnya berkembang dengan berbagai kejadian, sampai akhirnya ada yang mencapai jumlah puluhan palinggih.
    • Palinggih pokok yang ada di Sanggah Pamrajan antara 9 buah atau 11 buah seperti yang disebutkan di atas. Jumlah, jenis, dan letak palinggih-palinggih di masing-masing Sanggah Pamrajan tidak pernah sama karena masing-masing menuruti sejarah leluhurnya.
    • Pengelompokan Sanggah Pamrajan berbeda-beda; ada yang memecah menjadi tiga kelompok, yaitu: Kawitan, Sanggah Pamrajan, dan Dewa Hyang dengan batas tembok panjengker, bahkan dengan hari Piodalan dan Pamangku yang berbeda-beda.
    3. TATA CARA MEMASUKI PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN
    Pura dan Sanggah Pamrajan adalah tempat suci oleh karena itu maka sebelum masuk hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
    1. Bersih lahir bathin; lahir: sudah mandi, pakaian bersih dengan tata cara pakaian yang wajar untuk bersembahyang; bathin: pikiran yang hening, tenang, tentram dan siap memusatkan pikiran untuk berbakti kepada Yang Maha Kuasa.
    2. Tidak dalam keadaan cuntaka, kecuali kematian dan perkawinan, boleh masuk ke Sanggah Pamrajan keluarga sendiri.
    3. Bayi yang belum diupacarai tiga bulanan tidak boleh masuk karena masih “leteh”.
    4. Wanita yang rambutnya diurai (“megambahan”) tidak boleh masuk karena rambut yang diurai menyiratkan: keasmaraan (birahi), marah, sedih, dan mempelajari ilmu hitam.
    5. Ibu yang sedang menyusui bayi boleh masuk dengan syarat tidak boleh menyusui bayi di dalam (jeroan) karena air susu Ibu yang menetes akan “ngeletehin” Pura dan Sanggah Pamrajan, di samping itu dipandang tidak sopan mengeluarkan buah dada.
    6. Mereka yang sedang sakit, baik sakit badan maupun sakit ingatan, atau yang terluka tidak boleh masuk karena dapat ngeletehin.
    7. Tidak dalam keadaan mabuk atau “fly”
    Pintu/ Pemedal dibuat sempit, cukup untuk satu atau dua orang berbarengan, maksudnya agar masuk ke dalam Pura dan Sanggah Pamrajan secara tertib tidak terburu-buru. Setelah berada di dalam Pura dan Sanggah Pamrajan tata tertib yang perlu diperhatikan antara lain:
    1. Tidak melakukan perbuatan yang dapat mengganggu ketentraman bersembahyang.
    2. Tidak makan/ minum berlebih-lebihan
    3. Tidak membuang kotoran
    4. Tidak bertengkar/ berkelahi
    5. Tidak berbicara keras/ memaki, memfitnah atau membicarakan keburukan orang lain.
    6. Tidak bersedih, menangis/ meratap.
    4. FUNGSI PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN
    Selain sebagai tempat suci untuk bersembahyang, fungsi Pura dan Sanggah Pamrajan berkembang menjadi beberapa fungsi ikutan, yaitu:
    1. Pemelihara persatuan; di saat Odalan, semua warga dan sanak keluarga berkumpul saling melepas rindu karena bertempat tinggal jauh dan jarang bertemu namun merasa dekat di hati karena masih dalam satu garis keturunan.
    2. Pemelihara dan pembina kebudayaan; di saat Odalan dipentaskan tari-tarian sakral, kidung-kidung pemujaan Dewa, tabuh gambelan, wayang, dll.
    3. Pendorong pengembangan pendidikan di bidang agama, adat, dan etika/susila; ketika mempersiapkan Upacara Odalan, ada kegiatan gotong royong membuat tetaring, menghias palinggih, majejahitan, mebat, dll.
    4. Pengembangan kemampuan berorganisasi; membentuk panitia pemugaran, panitia piodalan, dll.
    5. Pendorong kegiatan sosial; dengan mengumpulkan dana punia untuk tujuan sosial baik bagi membantu anggota keluarga sendiri, maupun orang lain.
    5. ODALAN
    Odalan berasal dari kata “Wedal” atau lahir; hari Odalan = hari wedal = hari lahir = hari di-stanakannya Ida Bethara di Pura dan Sanggah Pamrajan. Yang menjadi patokan adalah hari upacara Ngenteg Linggih yang pertama kali.
    Istilah lain yang digunakan untuk hari Odalan adalah hari: Petirtaan (karena di saat itu kepada Ida Bethara disiratkan tirta pebersihan dan dimohonkan tirta wangsuhpada), Petoyaan (sama dengan Petirtaan), Pujawali (karena di saat itu diadakan pemujaan “wali” = kembali di hari kelahiran = wedal).
    Hari-hari menurut pawukon yang digunakan sebagai hari odalan (enam bulan sekali) adalah:
    1. Buda Kliwon: Sinta, Gumbreg, Dungulan, Pahang, Matal, Ugu
    2. Tumpek: Landep, Wariga, Kuningan, Krulut, Uye, Wayang.
    3. Buda Wage: Ukir, Warigadean, Langkir, Merakih, Menail, Klawu
    4. Anggarakasih: Kulantir, Julungwangi, Medangsia, Tambir, Prangbakat, Dukut.
    5. Saniscara Umanis: Tolu, Sungsang, Pujut, Medangkungan, Bala, Watugunung.
    Susunan upacara Ngaturang Piodalan adalah sbb.:
    1. Mapiuning di Sanggah Pamrajan bahwa akan ngaturang Piodalan
    2. Macaru, bersamaan dengan Newasain/ Nanceb tetaring
    3. Nuwur tirta ke Pura-Pura lain menurut tradisi
    4. Nedunang pratima-pratima Ida Bethara
    5. Mamendak Ida Bethara
    6. Makalahias
    7. Ngewangsuh dan masucian
    8. Ngadegang Ida Bethara
    9. Ngaturang Piodalan, pemuspaan
    10. Nyineb Ida Bethara
    11. Masidakarya
    12. Makebat don
    6. MLASPAS
    Mlaspas asal kata dari “paspas” artinya membersihkan atau membuang yang tidak perlu; di sini dimaksudkan bahwa bahan-bahan yang digunakan sebagai palinggih: batu, pasir, semen, besi, kayu sudah ditingkatkan statusnya, tidak lagi bernama demikian, tetapi sudah menjadi satu kesatuan dengan nama palinggih.
    Sebelum upacara mlaspas, untuk bangunan baru, diadakan upacara:
    1. Memangguh: asal kata: “pangguh” = menemukan tanah baru yang sesuai.
    2. Memirak: asal kata: “pirak” = nebus-menebus di niskala kepada Sedahan Karang/ Carik pemilik tanah pekarangan semula.
    3. Nyikut karang: mengukur panjang/ lebar karang yang akan digunakan sebagai lokasi pelinggih dengan berpedoman pada asta bumi dan asta kosala-kosali.
    4. Macaru asal kata dari “car” = harmonis, yaitu menciptakan keharmonisan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit sesuai dengan konsep Tri-Hita-Karana (tiga penyebab kesempurnaan)
    5. Ngararuwak asal kata “wak” = membuka, yaitu membongkar tanah untuk pondasi
    6. Mendem dasar dengan batu tiga warna (merah merajah “Ang”=Brahma, hitam merajah “Ung”= Wisnu, putih merajah “Mang”=Siwa)
    7. Mamakuh asal kata “bakuh” = kuat; mengokohkan pondamen, bangunan lanjutan, sendi-sendi, paku-paku, atap dll.
    8. Ngurip asal kata “urip” = hidup; menghidupkan bangunan dengan mohon restu Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai Brahma (tetoreh warna merah – di atas), Siwa (tetoreh warna putih – di tengah), dan Wisnu (tetoreh warna hitam – di bawah).
    9. Mendem pedagingan; asal kata “daging” = isi = jiwa bagi palinggih, yaitu Pancadatu, bersamaan dengan memasang Orti, asal kata orta = berita, mengandung simbol agar karya di Sanggah Pamrajan menjadi berita seketurunan, dan memasang Palakerti, asal kata Pala = pahala, Kerti = perbuatan, mengandung simbol buah perbuatan yang patut menjadi contoh bagi keturunan berikutnya. Selanjutnya memasang Bagia, asal kata bagia = landuh = makmur, mengandung simbol mohon kemakmuran kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Pada waktu mendem pedagingan semua keluarga agar menyiapkan takir berisi: kalpika, bija, jinah sesari dengan maksud agar dikaruniai umur panjang (kalpika), kemakmuran (bija) dan hasil kerja yang baik (sesari).
    10. Memasang ulap-ulap; asal kata ulap = panggil. Simbol ulap-ulap maksudnya memohon kehadiran Ida Bethara agar berstana di palinggih yang sudah disiapkan.
    Setelah itu barulah dilaksanakan upacara melaspas, dan seterusnya Ngenteg Linggih.
    7. TATA CARA DAN UPACARA MEMUGAR PURA DAN SANGGAH PAMERAJAN
    1. Tahap Pertama (membongkar bangunan lama dan meletakkan batu pertama):
    1. Mareresik
    2. Mapiuning
    3. Macaru Pancasata
    4. Ngadegang Ida Bethara di Daksina linggih
    5. Maguru Piduka
    6. Mlaspas dan masupati batu papendeman
    7. Masupati trisarana (takir berisi: kalpika, beras, jinah)
    8. Ngingsirang Daksina linggih ketempat darurat (asagan)
    9. Mralina palinggih-palinggih lama yang akan dibongkar
    10. Ngereruak pondamen palinggih-palinggih lama
    11. Mendem batu papendeman, takir caru, dan takir trisarana
    12. Persembahyangan
    13. Dharma Wacana tentang: 1] Pura dan Sanggah Pamerajan. 2] Baberatan preti sentana.
    2. Tahap Kedua (mlaspas):
    1. Mareresik
    2. Mapiuning
    3. Macaru Resi Gana
    4. Mlaspas dan masupati pedagingan, bagia/ orti/ palakerti, ulap-ulap
    5. Memakuh palinggih-palinggih
    6. Maurip-urip palinggih-palinggih
    7. Mlaspas palinggih-palinggih
    8. Mendem pedagingan dan memasang bagia/ orti/ palakerti/ ulap-ulap
    9. Ngambe-ulap
    10. Nuntun Ida Bethara ke Palinggih-palinggih baru.
    11. Ngaturang ayaban, pemuspaan, Dharma wacana
    Demikianlah sekelumit tentang Pura dan Sanggah Pamerajan.

    Read More......

    Pura dan Sanggah Pamrajan

    Pura dan Sanggah Pamrajan



    1. PENDAHULUAN
    Suatu ciri utama kehidupan dalam ber-Agama Hindu adalah percaya dan bakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan-Nya tidak terbatas sedangkan kemampuan manusia sangat terbatas.
    Manusia dalam ketidaksempurnaannya selalu ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa agar memperoleh perlindungan dan petunjuk dalam menempuh kehidupan. Mereka yang memahami pengertian ini menjadi manusia yang mulia karena senantiasa mengutamakan ke-Tuhanan dalam tatanan kehidupannya.
    Dalam Bhagwadgita dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia berdasarkan yadnya dan sebagai sumber kehidupan manusia Tuhan menciptakan alam. Oleh karena itu selalu diupayakan menjaga keharmonisan antara: Tuhan – Manusia – Alam melalui yadnya.
    Manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan jalan yadnya memerlukan sarana antara lain Pura dan Sanggah Pamrajan.
    2. PENGERTIAN PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN
    Pura berasal dari Bahasa Sanskerta, yaitu “Phur”, artinya tempat suci, istana, kota. Lebih khusus berarti tempat persembahyangan untuk umum atau kelompok sosial tertentu yang lebih luas sifatnya dari Sanggah Pamerajan.
    Sanggah berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga.
    Dalam Lontar Siwagama disebutkan bahwa Palinggih utama yang ada di Sanggah Pamrajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur. Untuk menguatkan kedudukan Kamulan, dibangun Palinggih-Palinggih lain sebagai berikut:
    1. Taksu: palinggih Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan daya majik agar semua pekerjaan berhasil baik.
    2. Pangrurah: palinggih Bhatara Kala, putra Bhatara Siwa dengan Bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga Sanggah Pamrajan.
    3. Sri Sdana atau Rambut Sdana: palinggih Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sdana atau Limascatu, yaitu sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia.
    4. Padma: palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya.
    5. Manjangan Salwang: palinggih Dewa Rsi Mpu Kuturan dengan Bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10 M
    6. Gedong Maprucut: palinggih Danghyang Nirarta dengan Bhiseka Limascari, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-15 M.
    7. Gedong Limas atau Meru tumpang satu, tiga, lima: palinggih Bhatara Kawitan, yaitu leluhur utama dari keluarga.
    8. Bebaturan: palinggih Bhatara Ananthaboga dengan Bhiseka Saptapetala, yaitu sakti Sanghyang Pertiwi, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai bumi.
    9. Bebaturan: palinggih Bhatara Baruna dengan Bhiseka Lebuh, yaitu sakti Bhatara Wisnu, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai lautan.
    10. Bebaturan: palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring Akasa, yaitu sakti Bhatara Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai angkasa.
    11. Gedong Limas: palinggih Bhatara Raja Dewata dengan Bhiseka Dewa Hyang atau Hyang Kompiang, yaitu stana para leluhur di bawah Bethara Kawitan yang sudah suci.
    12. Pengapit Lawang (dua buah di kiri-kanan Pamedal Agung): palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang.
    13. Balai Pengaruman: palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagai Balai Piasan (Pahyasan) karena ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.
    Catatan:
    • Di beberapa Sanggah Pamrajan sering dijumpai beberapa Gedong Limas kecil-kecil yang merupakan palinggih tambahan. Menurut sejarah para leluhur terdahulu yang kebanyakan didirikan untuk menyatakan terima kasih dan bhakti, misalnya ketika sakit memohon penyembuhan dari Ida Bhatara di Pulaki; setelah sembuh lalu mendirikan pengayatan Beliau di Sanggah Pamrajan, demikian selanjutnya berkembang dengan berbagai kejadian, sampai akhirnya ada yang mencapai jumlah puluhan palinggih.
    • Palinggih pokok yang ada di Sanggah Pamrajan antara 9 buah atau 11 buah seperti yang disebutkan di atas. Jumlah, jenis, dan letak palinggih-palinggih di masing-masing Sanggah Pamrajan tidak pernah sama karena masing-masing menuruti sejarah leluhurnya.
    • Pengelompokan Sanggah Pamrajan berbeda-beda; ada yang memecah menjadi tiga kelompok, yaitu: Kawitan, Sanggah Pamrajan, dan Dewa Hyang dengan batas tembok panjengker, bahkan dengan hari Piodalan dan Pamangku yang berbeda-beda.
    3. TATA CARA MEMASUKI PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN
    Pura dan Sanggah Pamrajan adalah tempat suci oleh karena itu maka sebelum masuk hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
    1. Bersih lahir bathin; lahir: sudah mandi, pakaian bersih dengan tata cara pakaian yang wajar untuk bersembahyang; bathin: pikiran yang hening, tenang, tentram dan siap memusatkan pikiran untuk berbakti kepada Yang Maha Kuasa.
    2. Tidak dalam keadaan cuntaka, kecuali kematian dan perkawinan, boleh masuk ke Sanggah Pamrajan keluarga sendiri.
    3. Bayi yang belum diupacarai tiga bulanan tidak boleh masuk karena masih “leteh”.
    4. Wanita yang rambutnya diurai (“megambahan”) tidak boleh masuk karena rambut yang diurai menyiratkan: keasmaraan (birahi), marah, sedih, dan mempelajari ilmu hitam.
    5. Ibu yang sedang menyusui bayi boleh masuk dengan syarat tidak boleh menyusui bayi di dalam (jeroan) karena air susu Ibu yang menetes akan “ngeletehin” Pura dan Sanggah Pamrajan, di samping itu dipandang tidak sopan mengeluarkan buah dada.
    6. Mereka yang sedang sakit, baik sakit badan maupun sakit ingatan, atau yang terluka tidak boleh masuk karena dapat ngeletehin.
    7. Tidak dalam keadaan mabuk atau “fly”
    Pintu/ Pemedal dibuat sempit, cukup untuk satu atau dua orang berbarengan, maksudnya agar masuk ke dalam Pura dan Sanggah Pamrajan secara tertib tidak terburu-buru. Setelah berada di dalam Pura dan Sanggah Pamrajan tata tertib yang perlu diperhatikan antara lain:
    1. Tidak melakukan perbuatan yang dapat mengganggu ketentraman bersembahyang.
    2. Tidak makan/ minum berlebih-lebihan
    3. Tidak membuang kotoran
    4. Tidak bertengkar/ berkelahi
    5. Tidak berbicara keras/ memaki, memfitnah atau membicarakan keburukan orang lain.
    6. Tidak bersedih, menangis/ meratap.
    4. FUNGSI PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN
    Selain sebagai tempat suci untuk bersembahyang, fungsi Pura dan Sanggah Pamrajan berkembang menjadi beberapa fungsi ikutan, yaitu:
    1. Pemelihara persatuan; di saat Odalan, semua warga dan sanak keluarga berkumpul saling melepas rindu karena bertempat tinggal jauh dan jarang bertemu namun merasa dekat di hati karena masih dalam satu garis keturunan.
    2. Pemelihara dan pembina kebudayaan; di saat Odalan dipentaskan tari-tarian sakral, kidung-kidung pemujaan Dewa, tabuh gambelan, wayang, dll.
    3. Pendorong pengembangan pendidikan di bidang agama, adat, dan etika/susila; ketika mempersiapkan Upacara Odalan, ada kegiatan gotong royong membuat tetaring, menghias palinggih, majejahitan, mebat, dll.
    4. Pengembangan kemampuan berorganisasi; membentuk panitia pemugaran, panitia piodalan, dll.
    5. Pendorong kegiatan sosial; dengan mengumpulkan dana punia untuk tujuan sosial baik bagi membantu anggota keluarga sendiri, maupun orang lain.
    5. ODALAN
    Odalan berasal dari kata “Wedal” atau lahir; hari Odalan = hari wedal = hari lahir = hari di-stanakannya Ida Bethara di Pura dan Sanggah Pamrajan. Yang menjadi patokan adalah hari upacara Ngenteg Linggih yang pertama kali.
    Istilah lain yang digunakan untuk hari Odalan adalah hari: Petirtaan (karena di saat itu kepada Ida Bethara disiratkan tirta pebersihan dan dimohonkan tirta wangsuhpada), Petoyaan (sama dengan Petirtaan), Pujawali (karena di saat itu diadakan pemujaan “wali” = kembali di hari kelahiran = wedal).
    Hari-hari menurut pawukon yang digunakan sebagai hari odalan (enam bulan sekali) adalah:
    1. Buda Kliwon: Sinta, Gumbreg, Dungulan, Pahang, Matal, Ugu
    2. Tumpek: Landep, Wariga, Kuningan, Krulut, Uye, Wayang.
    3. Buda Wage: Ukir, Warigadean, Langkir, Merakih, Menail, Klawu
    4. Anggarakasih: Kulantir, Julungwangi, Medangsia, Tambir, Prangbakat, Dukut.
    5. Saniscara Umanis: Tolu, Sungsang, Pujut, Medangkungan, Bala, Watugunung.
    Susunan upacara Ngaturang Piodalan adalah sbb.:
    1. Mapiuning di Sanggah Pamrajan bahwa akan ngaturang Piodalan
    2. Macaru, bersamaan dengan Newasain/ Nanceb tetaring
    3. Nuwur tirta ke Pura-Pura lain menurut tradisi
    4. Nedunang pratima-pratima Ida Bethara
    5. Mamendak Ida Bethara
    6. Makalahias
    7. Ngewangsuh dan masucian
    8. Ngadegang Ida Bethara
    9. Ngaturang Piodalan, pemuspaan
    10. Nyineb Ida Bethara
    11. Masidakarya
    12. Makebat don
    6. MLASPAS
    Mlaspas asal kata dari “paspas” artinya membersihkan atau membuang yang tidak perlu; di sini dimaksudkan bahwa bahan-bahan yang digunakan sebagai palinggih: batu, pasir, semen, besi, kayu sudah ditingkatkan statusnya, tidak lagi bernama demikian, tetapi sudah menjadi satu kesatuan dengan nama palinggih.
    Sebelum upacara mlaspas, untuk bangunan baru, diadakan upacara:
    1. Memangguh: asal kata: “pangguh” = menemukan tanah baru yang sesuai.
    2. Memirak: asal kata: “pirak” = nebus-menebus di niskala kepada Sedahan Karang/ Carik pemilik tanah pekarangan semula.
    3. Nyikut karang: mengukur panjang/ lebar karang yang akan digunakan sebagai lokasi pelinggih dengan berpedoman pada asta bumi dan asta kosala-kosali.
    4. Macaru asal kata dari “car” = harmonis, yaitu menciptakan keharmonisan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit sesuai dengan konsep Tri-Hita-Karana (tiga penyebab kesempurnaan)
    5. Ngararuwak asal kata “wak” = membuka, yaitu membongkar tanah untuk pondasi
    6. Mendem dasar dengan batu tiga warna (merah merajah “Ang”=Brahma, hitam merajah “Ung”= Wisnu, putih merajah “Mang”=Siwa)
    7. Mamakuh asal kata “bakuh” = kuat; mengokohkan pondamen, bangunan lanjutan, sendi-sendi, paku-paku, atap dll.
    8. Ngurip asal kata “urip” = hidup; menghidupkan bangunan dengan mohon restu Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai Brahma (tetoreh warna merah – di atas), Siwa (tetoreh warna putih – di tengah), dan Wisnu (tetoreh warna hitam – di bawah).
    9. Mendem pedagingan; asal kata “daging” = isi = jiwa bagi palinggih, yaitu Pancadatu, bersamaan dengan memasang Orti, asal kata orta = berita, mengandung simbol agar karya di Sanggah Pamrajan menjadi berita seketurunan, dan memasang Palakerti, asal kata Pala = pahala, Kerti = perbuatan, mengandung simbol buah perbuatan yang patut menjadi contoh bagi keturunan berikutnya. Selanjutnya memasang Bagia, asal kata bagia = landuh = makmur, mengandung simbol mohon kemakmuran kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Pada waktu mendem pedagingan semua keluarga agar menyiapkan takir berisi: kalpika, bija, jinah sesari dengan maksud agar dikaruniai umur panjang (kalpika), kemakmuran (bija) dan hasil kerja yang baik (sesari).
    10. Memasang ulap-ulap; asal kata ulap = panggil. Simbol ulap-ulap maksudnya memohon kehadiran Ida Bethara agar berstana di palinggih yang sudah disiapkan.
    Setelah itu barulah dilaksanakan upacara melaspas, dan seterusnya Ngenteg Linggih.
    7. TATA CARA DAN UPACARA MEMUGAR PURA DAN SANGGAH PAMERAJAN
    1. Tahap Pertama (membongkar bangunan lama dan meletakkan batu pertama):
    1. Mareresik
    2. Mapiuning
    3. Macaru Pancasata
    4. Ngadegang Ida Bethara di Daksina linggih
    5. Maguru Piduka
    6. Mlaspas dan masupati batu papendeman
    7. Masupati trisarana (takir berisi: kalpika, beras, jinah)
    8. Ngingsirang Daksina linggih ketempat darurat (asagan)
    9. Mralina palinggih-palinggih lama yang akan dibongkar
    10. Ngereruak pondamen palinggih-palinggih lama
    11. Mendem batu papendeman, takir caru, dan takir trisarana
    12. Persembahyangan
    13. Dharma Wacana tentang: 1] Pura dan Sanggah Pamerajan. 2] Baberatan preti sentana.
    2. Tahap Kedua (mlaspas):
    1. Mareresik
    2. Mapiuning
    3. Macaru Resi Gana
    4. Mlaspas dan masupati pedagingan, bagia/ orti/ palakerti, ulap-ulap
    5. Memakuh palinggih-palinggih
    6. Maurip-urip palinggih-palinggih
    7. Mlaspas palinggih-palinggih
    8. Mendem pedagingan dan memasang bagia/ orti/ palakerti/ ulap-ulap
    9. Ngambe-ulap
    10. Nuntun Ida Bethara ke Palinggih-palinggih baru.
    11. Ngaturang ayaban, pemuspaan, Dharma wacana
    Demikianlah sekelumit tentang Pura dan Sanggah Pamerajan.

    Read More......

    Perilaku Manusia di Jaman Kali

    Perilaku Manusia di Jaman Kali

    Read More......

    Satyam, Siwam, Sundaram Menuju Moksartham Jagadhita – The Leaflet

    Satyam, Siwam, Sundaram Menuju Moksartham Jagadhita – The Leaflet

    Read More......