Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Template

Powered by Blogger

Jumat, 04 Maret 2011

Nyepi : Urutan Upacara & Filosofinya

Urut-urutan acara dalam menyambut Hari Raya Nyepi


1. TAHAP PERTAMA (MELASTI)
Melasti adalah Bahasa Kawi berasal dari kata “mala” = kotoran dan “asti” = abu/ lebur dengan demikian melasti artinya melebur kotoran. Kegiatan melasti juga disebut melelasti, melis, mesucian, mekiyis.
Dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala disebutkan:
… ANGANYUTAKEN LARANING JAGAT, PAKLESA LETUHING BHUANA
artinya untuk melenyapkan penderitaan masyarakat (kotoran Bhuana Alit) dan kekotoran dunia (kotoran Bhuana Agung).
Dalam Lontar Sundarigama disebutkan:
… AMET SARINING AMERTA KAMANDALU RI TELENGING SAMUDRA
artinya untuk memperoleh air suci kehidupan (Sarining Bhuana) di tengah-tengah laut.
Jadi melasti bertujuan untuk: melenyapkan kekotoran dunia dan melenyapkan penderitaan manusia yang menumpuk di tahun yang lalu (misalnya Isaka 1921), serta memohon tirta amerta kamandalu, yaitu air suci kehidupan untuk tahun yang akan datang (misalnya Isaka 1922).
Pelaksanaannya dengan mengusung pretima-pretima (niyasa Ida Bethara) ke laut.
Di tepi laut upacara dilaksanakan dengan menghaturkan banten suci ke hadapan Sanghyang Baruna, serta mohon tirta penglukatan/ pebersihan ke hadapan Gangga Dewi untuk pretima, prelingga, jempana, bangunan suci, alat-alat upacara, serta anggota masyarakat.
Upacara melasti ini dilaksanakan dua hari sebelum Nyepi (Sipeng)
2. TAHAP KEDUA (NYEJER DI PURA)
Sekembalinya dari melasti, pretima (niyasa Ida Bethara) di-stanakan di Pura. Di sini warga masyarakat mendapat kesempatan ngaturang ayaban serta mohon dianugerahi kesucian dan ketenteraman batin dalam menyambut Hari Raya Nyepi.
3. TAHAP KETIGA (PECARUAN TAWUR KESANGA)
Dilaksanakan oleh Tri Sadaka di perapatan agung. Hari itu tepat Tilem Chaitra (Kesanga).
Tujuan pecaruan adalah untuk membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam (Trihitakarana = tiga sebab yang menjadi baik).
Caru yang digunakan:
  • di tingkat Propinsi: Tawur Agung
  • di tingkat Kabupaten: Panca Kelud
  • di tingkat Kecamatan: Panca Sanak
  • di tingkat Desa: Panca Sata
  • di tingkat Banjar: Eka Sata
  • di rumah masing-masing warga:
    • di Pamerajan menghaturkan kepada Ida Bethara peras, ajuman, daksina, ketipat kelanan, canang lenga wangi, burat wangi, bija beras kuning
    • di natar Pamerajan menghaturkan kepada Sang Bhuta Kala segehan nasi cacah 108 tanding, ulam jejeroan mentah, segehan agung, tetabuhan arak/ berem/ tuak/ toya anyar
    • di pintu masuk halaman rumah nanceb sanggah cucuk dengan banten daksina, jauman, peras, dandanan tumpeng ketan, sesayut, panyeneng, janganan
    • di bawah sanggah cucuk segehan agung, segehan manca warna 9 tanding, olahan ayam brunbun, tetabuhan arak/ berem/ tuak/ arak/ air.
Setelah itu semua keluarga natab beakala, prayascita, sesayut lara melaradan, lalu melaksanakan pangerupukan.
Acara terakhir adalah ngelinggihang pretima Ida Bethara kembali ke palinggih semula (nyineb).
4. TAHAP KEEMPAT (SIPENG)
Melaksanakan Catur Brata Penyepian: Amati Agni, Amati Karya, Amati Lalanguan, Amati Lelungaan.
  1. Amati Agni, artinya tidak menyalakan api secara skala, dan api secara niskala, yaitu marah, nafsu sex dan pikiran kotor lainnya.
  2. Amati Karya, artinya tidak melaksanakan kerja fisik agar dapat melaksanakan tapa, berata, yoga, samadi.
  3. Amati Lalanguan (langu=indah, asyik, mempesona), artinya tidak menikmati keindahan atau sesuatu yang mengasyikkan seperti nonton TV, mendengar lagu-lagu, main judi, ceki, main catur, bergurau sambil tertawa, dll.
  4. Amati Lelungaan, artinya tidak bepergian keluar rumah karena melaksanakan tapa, berata, yoga, samadi.
5. TAHAP KELIMA (NGEMBAK AGNI)
Keesokan harinya sejak jam 06.00 melepaskan Brata Penyepian, dan melaksanakan Dharma Shanti.
6. TAHAP KEENAM (BETHARA TURUN KABEH)
Jatuh pada Purnama Kadasa, yaitu 14 hari setelah Sipeng. Pada hari ini Ida Sanghyang Widhi Wasa turun di Besakih diiringi oleh segenap manifestasi Beliau sebagai Dewa-Dewi.
Ida Sanghyang Widhi Wasa turun ke Besakih karena Bhuana Agung dan Bhuana Alit sudah “bersih” lalu memberkati umat manusia untuk menikmati kehidupan yang lebih baik di tahun yang akan datang.
Di saat ini warga Hindu berduyun-duyun datang ke Besakih menghaturkan sembah bakti serta mohon panugerahan.
———————————–
Itulah urut-urutan pelaksanaan Hari Raya Nyepi. Rangkaian itu merupakan satu kesatuan dan tidak dapat diputar balik karena makna atau tattwa-nya akan tidak mencapai sasaran.
Pandita belum menemukan sumber sastra yang menyatakan bahwa melasti dilaksanakan saat Purnama Kadasa.
Dengan berpikir bijaksana saja, sulit mencari jawaban, kenapa sudah melaksanakan berata penyepian, padahal Bhuana Agung dan Bhuana Alit masih leteh (kotor); di samping itu, di saat Bethara Turun Kabeh di Besakih, mereka yang melasti tentu tidak dapat tangkil ke Besakih; bagaimana?
Di Desa Adat Buleleng, selama ratusan tahun dilaksanakan melelasti pada Purnama Kadasa.
Ini adalah Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka Dresta. Kuna Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah diwarisi sejak dahulu; Desa Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di suatu Desa; Loka Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan yang diyakini oleh sekelompok orang.
Dresta itu dimulai ketika Buleleng dipimpin oleh Raja I Gusti Anglurah Panji Sakti. Beliau adalah putra Dalem Seganing, raja Gelgel beribu Ni Luh Pasek, putri Ki Pasek Gobleg.
Beliau kesatria sejati dengan naluri perang dan politik ekspansi yang tinggi. Buleleng mencapai zaman keemasan karena berhasil menundukkan Blambangan, Pasuruan, Jembrana, dan Mengui.
Beliau lalu “show of force” atau pamer kekuatan ke arah selatan Bali dengan memancing kemarahan Raja Tabanan dan Badung. Caranya agak unik, yaitu merusak palinggih-palinggih di Pura Batu Karu yang disakralkan oleh Badung dan Tabanan. Untung upaya itu tidak berlanjut karena terjadi pro-kontra di kalangan pasukan “Taruna Goak”.
Akhirnya Beliau menyerang Badung, terjadi pertempuran yang dahsyat di Taensiat; dalam perang ini tidak ada yang kalah atau menang. Sementara itu Raja Gelgel, Dalem Di Made di-kup oleh I Gusti Agung Maruti.
Raja-Raja di Bali mendapat peluang untuk berdiri sendiri tidak tunduk lagi kepada Dalem di Gelgel. Kebiasaan lama menghaturkan upeti tahunan ke Gelgel terhenti.
Di masa lalu para Raja terlebih dahulu bersembahyang ke Besakih pada Purnama Kedasa, sebelum menghadap “kaisar” Raja Gelgel. Walaupun Dalem Di Made masih saudara tiri Panji Sakti, beliau tidak bereaksi apa-apa ketika kudeta itu terjadi; mungkin masih merasa dendam karena dianaktirikan dahulu.
Di saat itu Panji Sakti sangat ditakuti oleh Raja-Raja Bali, karena kesaktian dan kekuatan pasukan tempurnya yang dilengkapi gajah-gajah hasil jarahan ke Blambangan.
Jika saja beliau tidak ingat dengan ramalan Ki Panji Landung, mungkin saja Bali Selatan dikuasai beliau. Ketika itu Panji Sakti memutuskan untuk seterusnya tidak menyerahkan upeti ke Gelgel, dan juga tidak tangkil ke Besakih pada Purnama Kedasa; sebagai dalih diadakan upacara melis saat Purnama Kedasa.
Dresta sebagai peninggalan politik militer Panji Sakti seperti yang diuraikan di atas kiranya kini perlu dikaji karena tidak sesuai lagi dengan desa-kala-patra, dalam hal ini “kala” yang berarti waktu-nya sudah berbeda.
Melis sebelum Penyepian serta rangkaian upacara seperti diuraikan di atas sesuai dengan sastra Agama, logis, dan sudah dibakukan dalam Keputusan Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Tahun 1984 dan Keputusan Seminar Kesatuan Tapsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu tahun 1988, tentang Hari Raya Nyepi.
Keputusan-keputusan itu menjadi pedoman yang seharusnya ditaati oleh umat Hindu di mana pun berada, karena PHDI adalah Lembaga Tertinggi Umat Hindu.


Sumber : Stiti Dharma Online

Read More......

Tahun Saka & Hari Raya Nyepi

Astronomi (Ilmu perbintangan) yang menjadi patokan perhitungan untuk hari-minggu-bulan-tahun bagi umat manusia sebenarnya sudah dikenal di India sekitar 12.000 tahun Sebelum Masehi (SM). Dari India astronomi ini menyebar ke benua Eropa dan Asia.
Weda yang diwahyukan sekitar 3000 tahun SM disebut sebagai Weda Sruti. Sifat-sifat kebenaran Weda Sruti menurut para Maha Rsi adalah:
  1. Pratiyaksa (dapat dirasakan/ diamati),
  2. Adhiyatmika (dapat dipikirkan/ direnungkan), dan
  3. Paroksa (dapat dipelajari/ didiskusikan).
Walaupun demikian tetap saja Weda sulit dipahami oleh umat Hindu kebanyakan. Untuk dapat dipahami, Weda Sruti kemudian dijelaskan dengan pengertian sederhana dan lebih gamblang ke dalam tulisan-tulisan yang disebut: Upaweda, Wedangga, Itihasa, dan Purana.
Salah satu Wedangga yang menjelaskan tentang astronomi adalah Kitab Jyotesha, yang terdiri dari Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta, dan Romaka Siddhanta.
Sekarang diceritakan tentang keadaan sebelum Masehi, yaitu para penguasa (Raja) yang silih berganti di India oleh berbagai suku, yaitu: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa, dan Saka.
Diantara suku-suku itu yang paling tinggi tingkat kebudayaanya adalah suku Saka. Ketika suku Yuehchi di bawah Raja Kaniska berhasil mempersatukan India maka secara resmi kerajaan menggunakan sistem kalender suku Saka. Keputusan penting ini terjadi pada tahun 78 Masehi.
Sejak itu sistem kalender Saka digunakan terus menerus hingga saat ini yang disebut Tahun Saka. Itulah sebabnya sistem kalender Hindu “seolah-olah terlambat” 78 tahun dari kalender Masehi.
Pada tahun 456 M (atau Tahun 378 S), datang ke Indonesia seorang Pendeta penyebar Agama Hindu yang bernama Aji Saka asal dari Gujarat, India. Beliau mendarat di pantai Rembang (Jawa Tengah) dan mengembangkan Agama Hindu di Jawa. Sekaligus beliau mengajarkan sistem kalender Saka pada murid-muridnya.
Ketika Majapahit berkuasa, (abad ke-13 M) sistem kalender Tahun Saka dicantumkan dalam Kitab Nagara Kartagama. Sejak itu Tahun Saka resmi digunakan di Indonesia. Masuknya Agama Hindu ke Bali kemudian disusul oleh penaklukan Bali oleh Majapahit pada abad ke-14 dengan sendirinya membakukan sistem Tahun Saka di Bali hingga sekarang.
Perayaan menyambut Tahun Baru Saka sejak di India sampai ke Jawa dan kemudian ke Bali, selalu meriah dan sakral. Agama Hindu menyiratkan bahwa tibanya Tahun Baru Saka hendaknya disambut dengan penyerahan total ke hadirat Hyang Widhi, serta berdoa semoga kehidupan di masa datang senantiasa dalam petunjuk Hyang Widhi.
Kehidupan umat Hindu diatur dalam Catur Purusaartha, yaitu: Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Tentang hal ini ada dalam Lontar Brahma Sutra sloka 45 dan 228, Sarasamuscaya sloka 135.
Di sana disebutkan bahwa Catur Purusaartha dapat dicapai jika dilaksanakan Yadnya yang bertujuan menghubungkan kekuatan Hyang Widhi (Prajapati), Praja (manusia), dan Kamadhuk (alam).
Lebih tegas Lontar Sanghyang Aji Swamandala menyebutkan bahwa Yadnya hendaknya dimulai dari Kamadhuk (alam) yang diwujudkan dalam Bhuta Yadnya.
Pentingnya Bhuta Yadnya juga ditegaskan dalam Sarasamuscaya 135 dan Bhagawadgita III.14 sebagai berikut:
Sarasamuscaya 135:
DHARMARTHAKAMAMOKSANAM PRANAH SAMSTHITIHETAVAH, TAN NIGHNATA KIN NA HATAM RAKSA BHUTAHITARTHA CA
Artinya: usahakanlah kesejahteraan (kelestarian) alam karena mereka menyebabkan tegaknya dharma, artha, kama, dan moksa.
Bhagawadgita III (percakapan ke-3) sloka ke-14:
ANNAD BHAVANTI BHUTANI, PARJANYAD ANNASAMBHAVAH, YAJNAD BHAVATI PARJANYO, YAJNAH KARMA SAMUDBHAVAH
Artinya: karena makanan mahluk hidup, karena hujan makanan tumbuh, karena persembahan hujan turun, dan persembahan lahir karena kerja.
Tata cara Bhuta Yadnya (Tawur kesanga) yang diadakan tepat pada Tilem Kasanga diatur dalam Lontar-lontar: Sanghyang Aji Swamandala, Agastya Parwa, Usana Bali, dan Ekapratama.
Filsafat tentang Tawur sebagai berikut: Tawur artinya membayar atau mengembalikan. Apa yang dibayar dan dikembalikan? Adalah sari-sari alam yang telah dihisap atau digunakan manusia. Agar terjadi keseimbangan maka sari-sari alam itu dikembalikan dengan upacara Tawur.
Upacara Tawur menurut Lontar Ekapratama, dipimpin oleh Sadaka-Sadaka (Pendeta) yang berpaham Siwa, berpaham Boddha, dan berpaham Bujangga masing-masing dengan tugas: Sadaka-sadaka Siwa mensucikan Akasa (Swahloka) dengan Agniangelayang, Sadaka-sadaka Boddha mensucikan Atmosfir (Bhuwahloka) dengan Agnisara, dan Sadaka-sadaka Bujangga mensucikan Sarwaprani (Bhurloka) dengan Agnisinararasa.
Upacara Tawur dilaksanakan di Catuspata (Perempatan Agung) pada siang hari, kemudian di setiap rumah tangga diadakan juga Bhuta Yadnya yang lebih sederhana, yaitu dengan cara membuat sanggah cucuk di luar rumah berisi banten: tegteg daksina peras ajuman, dandanan, tumpeng ketan, sesayut, panyeneng, jangan-janganan, tipat kelanan, sujang arak tuak berem, segehan aperancak (segehan agung), nasi warna 9 tanding dan nasi cacahan 100 tanding.
Setelah itu semua anggota keluarga yang sudah ketus gigi mabeakala/ maprayascita, kemudian barulah ngerupuk dan menebarkan nasi Tawur yang diperoleh dari Catuspata tadi.
Sebelum upacara Tawur terlebih dahulu diadakan upacara Melasti. Melasti berasal dari kata Mala = kotoran/ leteh, dan Asti = membuang/ memusnahkan.
Pelaksanaan melasti dengan mengiring pratima Ida Bethara ke segara atau segara alit (sungai) untuk mesucian. Jumputan tanah di setiap sudut pekarangan rumah turut dihanyut di segara sebagai simbol membuang keletehan.
Lontar Sanghyang Aji Swamandala menyebutkan tujuan melasti sebagai berikut:
ANGLUKATAKEN LARANING JAGAT, PAKLESA LETUHING BHUWANA
artinya: melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan, dan ke kotoran alam.
Lontar Sundarigama menyebutkan:
AMET SARINING AMERTHA KAMANDALU RING TELENGING SAGARA, MANUSIA KABEH NGATURAKEN PRAKERTI RING PRAWATAK DEWATA
artinya: mencari sari kehidupan di tengah-tengah laut, dan manusia mempersembahkan bhakti kepada Hyang Widhi.
Selanjutnya dijelaskan bahwa setelah melasti, Ida Bethara nyejer di Pura untuk memberkati pelaksanaan Tawur Kesanga yang bertujuan memelihara keharmonisan Prajapati, Praja, dan Kamadhuk seperti yang diuraikan di atas, di samping itu untuk mensucikan jagat raya sebelum pelaksanaan Nyepi yang akan diadakan keesokan harinya.
Pada penanggal apisan (tanggal 1) Sasih Kadasa, yaitu esok hari setelah Tawur Kasanga, tibalah hari Sipeng, seperti kutipan Lontar Sundarigama:
ENJANG NYEPI AMATIGNI TAN WENANG SAJADMA ANYAMBUT KARYA SAKALWIRNIYA AGNIGNI SAPARANIYA TAN WENANG, KALINGANIYA WENANG SANG WRUH RING TATTWA GELARAKEN SAMADI, TAPA, YOGA AMETITIS KESUNYATAAN
artinya: besok Nyepi, tidak menghidupkan api, tidak dibolehkan manusia bekerja apapun, atau berapi-api dalam bentuk apapun, sebaliknya turutilah petunjuk Hyang Widhi, gelarkan samadi, tapa, dan yoga.
PHDI kemudian mempertegas tentang Brata Penyepian sebagai 4 (empat) pantangan, yaitu:
  1. Amati gni (tidak menghidupkan api)
  2. Amati karya (tidak bekerja)
  3. Amati lelungaan (tidak bepergian)
  4. Amati lelanguan (tidak bersenang-senang/ menghibur diri dengan tontonan dll)
Selain melaksanakan tapa, yoga, dan samadi, baik sekali dilaksanakan juga brata, yaitu berpuasa dan mengekang nafsu. Tujuan brata penyepian adalah:
  1. Menguasai diri (mengendalikan sad ripu: nafsu, lobha, marah, mabuk, sombong, dan dengki iri hati)
  2. Menuju kesucian hidup
  3. Melaksanakan dharma untuk menyeimbangkan adharma
Di hari Nyepi umat Hindu berada di Pura, Sanggah Pamerajan, atau di tempat suci (kamar suci) asal tidak keluar rumah, untuk melaksanakan berata penyepian, upawasa (berpuasa), mona (tidak berbicara), dhyana (memusatkan pikiran pada Hyang Widhi), dan arcana (bersembahyang) selama 24 jam.
Setelah Nyepi, keesokan harinya Ngembakgni, melepaskan brata penyepian dan ber-dharma santi, yaitu bermaaf-maafan kepada setiap orang, serta bergembira ria sebagai wujud puji sukur ke hadapan Hyang Widhi bahwa kita telah berhasil melaksanakan rangkaian hari raya Nyepi dengan selamat.
Ketika tiba hari Purnama Kadasa, umat Hindu berduyun-duyun datang ke Besakih karena di Besakih Ida Bethara turun kabeh (turun semua) memberikan berkat keselamatan dan kesejahteraan kepada semua umat Hindu.
Tirta yang diperoleh dari Besakih disiratkan pada semua palinggih di Pura/ Sanggah Pamerajan agar berkat itu diterima pula oleh para leluhur kita, kemudian setelah itu seluruh anggauta keluarga nunas tirta itu untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup kita selanjutnya.
Demikian dilaksanakan berulang-ulang sepanjang tahun.

Read More......