Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Template

Powered by Blogger

Sabtu, 22 Januari 2011

BULLETIN@

Intelektual Hindu di Masa Depan

Ciri utama globalisasi yang melanda dunia sekarang, adalah ‘perubahan’. Masyarakat yang hidup dalam dunia global harus memiliki kekuatan untuk melanjutkan kehidupan dan kekuatan untuk berubah.
Dalam komunitas yang terbelakang hampir tidak ditemukan kemajuan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam kondisi ini perubahan dilihat dengan rasa curiga dan banyak energi manusia sia-sia karena dikonsentrasikan pada upaya mempertahankan status quo.
Sebaliknya dalam komunitas yang maju, perubahan merupakan darah kehidupan. Tak terdapat hal yang terlalu buruk pada masyarakat, seperti kemelekatan buta kepada bentuk-bentuk kuno dan kebiasaan-kebiasaan usang yang tetap bertahan karena sikap pasif.
Pandangan Hindu memberikan ruang bagi perubahan-perubahan esensial. Ajaran Veda tidak membolehkan pelanggaran dharma, dan senantiasa menganjurkan kedamaian, kerukunan hidup bermasyarakat, menghindari ketegangan, dan mencegah konflik.
Meski prinsip-prinsip dharma mengandung kebenaran hakiki sehingga ia dinamakan sanatana dharma, tetapi peraturan-peraturan mengalami perubahan dari masa ke masa, sebagaimana disebutkan dalam kitab Parasara Dharmasastra 1.33:
YUGE YUGE CA YE DHARMAS TATRA TATRA CA YE DVIJAH, TESAM NINDA NA KARTTAVYA YUGA RUPA HI TE DVIJAH
(Aturan dan etika yang berlaku pada setiap zaman selalu berbeda, kaum cendekiawan yang memimpin perubahan masyarakat di suatu zaman tertentu tidak bisa disalahkan karena sesungguhnya dari perubahan itulah suatu zaman terwujud).
Institusi yang ketinggalan akan berlalu. Aturan-aturan itu memiliki masanya sendiri karena merupakan produk waktu dan digantikan oleh waktu, oleh karena itu dharma tidak dapat diidentikkan dengan institusi-institusi tertentu. Dharma tetap bertahan karena berakar pada kealamiahan manusia dan akan hidup abadi.
Metode dharma adalah metode perubahan eksperimental. Semua institusi adalah eksperimen, bahkan semua kehidupan merupakan eksperimen. Para legislator dihambat oleh lingkungan mereka sehingga tidak ada hukum atau institusi yang benar-benar suci dan sempurna.
Kitab Parasara Dharmasastra menyebutkan bahwa dalam empat masa, yaitu Kreta, Treta, Dvapara, dan Kali, peraturan-peraturan Manu, Gautama, Sankhalikhita, dan Parasara masing-masing merupakan otoritas tertinggi pada zamannya.
Manusia sebagai agent of development tidak dapat mentransfer kebiasaan-kebiasan dari suatu masa ke masa yang lainnya begitu saja, tanpa mengadakan perubahan dan penyesuaian.
Gagasan-gagasan moral mengenai hubungan-hubungan sosial tidak bersifat absolut, tetapi bersifat relatif terhadap kebutuhan dan kondisi dari jenis masyarakat yang berbeda.
Walaupun dharma bersifat absolut, ia tidak mempunyai isi yang absolut dan menembus batas waktu. Satu-satunya yang kekal dengan moralitas manusia adalah hasrat manusia untuk menjadi lebih baik. Akan tetapi waktu dan kondisi menentukan ‘apa yang lebih baik’ dalam setiap situasi.
Status kesepakatan-kesepakatan sosial tidak bisa dinaikkan menjadi peraturan-peraturan absolut tanpa mempertimbangkan situasi-situasi nyata. Tidak terdapat suatu tindakan manusia positif yang dapat dikatakan secara apriori sebagai sesuatu yang benar atau salah tanpa memperhatikan kondisi tempat tindakan itu dilakukan.
Bentuk-bentuk tindakan dianggap baik atau buruk pada tahapan peradaban berbeda, bergantung apakah itu meningkatkan atau menghambat kebahagiaan manusia. Institusi-institusi dan dogma-dogma yang kehilangan materi kehidupan harus dibuang.
Kebenaran-kebenaran yang menembus batas waktu memanifestasikan dirinya dalam hal-hal baru, yang selalu muncul dalam hidup. Masyarakat mempunyai hak untuk menolak hukum-hukum yang tidak cocok, bahkan jika hukum-hukum itu dibolehkan dalam kitab-kitab suci.
Hukum dibuat dan dicabut ketika waktu mengharuskannya. Etika dan hukum mencerminkan gagasan-gagasan dan kepentingan-kepentingan dari tahapan evolusi tertentu dan menjadi sangat resisten terhadap perubahan ketika mereka mendapat kedudukan istimewa melalui keterkaitannya dengan agama.
Fleksibilitas sosial telah menjadi karakter utama Hindu-Dharma. Maka oleh karena itu, mempertahankan sanatana dharma tidaklah dilakukan dengan berdiam diri saja, tetapi dengan menguasai prinsip-prinsip vital dan menerapkannya dalam kehidupan modern.
Semua pertumbuhan yang benar memelihara persatuan sepanjang perubahan-perubahan terjadi. Maka ketika perubahan-perubahan berlangsung masyarakat tidak merasakan secara drastis karena terdapat ‘kekuatan’ yang menyatukan, menggabungkan materi baru dan mengendalikannya.
‘Kekuatan’ itu adalah keyakinan hakiki pada sanatana dharma. Kekuatan itu pulalah yang mencegah tatanan sosial tidak terpecah-pecah, dan pemikiran sosial tidak menjadi kacau.
Suatu bangsa yang maju akan senantiasa mampu memberikan makna bagi pengalaman-pengalamannya di masa lalu. Prinsip-prinsip dharma dalam skala nilai harus dipertahankan di dalam dan melalui tekanan-tekanan pengalaman baru. Hanya dengan jalan itu akan terbuka kemungkinan untuk mencapai kemajuan sosial yang integral atau seimbang.
Kaum intelektual Hindu harus memperkenalkan perubahan-perubahan, mengelola sedemikian rupa sehingga membuat Hindu-Dharma relevan dengan situasi-situasi modern.
Perubahan-perubahan itu adalah dampak masuknya kekuatan-kekuatan baru ke dalam masyarakat antara lain: industrialisasi ke dalam sektor agraris, penghapusan hak istimewa dengan pola kemanfaatan bersama, masuknya orang-orang non Hindu ke dalam masyarakat Hindu, emansipasi wanita versus otoritas lelaki, dan percampuran ras/ suku/ agama melalui perkawinan.
Masyarakat yang maju dalam iklim perubahan akan tercapai bila kondisi ideal lebih baik dari pada kondisi aktual. Artinya, pemikiran-pemikiran cemerlang dari kaum intelektual mampu membuahkan gagasan baru, inovasi, dan kreasi, baik dalam iptek maupun dalam tatanan sosial.
Mereka hendaknya selalu berorientasi pada pelayanan masyarakat dengan integritas intelektual. Mereka terlebih dahulu harus menciptakan kesadaran sosial dan rasa tanggung jawab tinggi pada dirinya.
Untuk dapat berperan seperti itu maka Max Muller, dengan mengutip Vedanta menyatakan bahwa para cendekiawan perlu memperhatikan unsur-unsur kesehatan dalam arti luas, dengan prioritas utama pada kesehatan spiritual, kemudian berturut-turut disusul oleh kesehatan emosional, kesehatan inteligensi, dan kesehatan fisik.
Penjelasan lebih lanjut, mengarah pada pentingnya setiap orang untuk memahami filsafat agama yang dipeluknya, serta mengaplikasikan pada kehidupan sehari-hari, sebagai dasar untuk mendapatkan kestabilan emosional yang terkendali baik.
Setelah itu akan tumbuh keinginan mengembangkan intelektual untuk mencapai kualitas kehidupan yang makin tinggi. Ketiga unsur dasar itu akan berperan besar pada terwujudnya kesehatan phisik. Ia menyebut keempat unsur itu sebagai resep mencapai ‘Living Healthy’.
Seorang cendekiawan dan filsuf Hindu tersohor, Ramakrishna Paramahamsa mengenalkan semboyan: ‘Simple living, and high thinking’ yakni pola hidup yang sederhana dalam pengertian konsumsi kebendaan sebagai apa adanya, serta pengendalian diri yang penuh, namun senantiasa berpikiran cemerlang dan upgrade dalam kualitas iptek dan pelayanan masyarakat.
Semboyan ini telah menjiwai para pemimpin India, sehingga mereka mampu membawa negaranya ke kemajuan yang pesat.
Untuk menjadi tangguh dalam era global, intelektual Hindu di masa depan hendaknya mengemukakan nilai-nilai ‘kebenaran’ sebagai azas pokok.
Kebenaran adalah suatu pandangan dan nilai yang mula-mula bersifat subjektif karena bersumber dari masing-masing diri pribadi. Kualitas kebenaran tergantung dari tingkat kemampuan dan kecerahan olah pikir yang didasari kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar seseorang.
Dalam perjalanan hidup, manusia sejak kecil terobsesi persaingan untuk mendapatkan keunggulan tertentu yang memunculkan eksistensi jati diri.
Pertumbuhan kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar berjalan serentak melalui pendidikan formal, pendidikan informal, pendidikan non-formal, pengajaran, kerajinan mendalami ajaran agama, dan kemampuan menghimpun pengalaman-pengalaman positif diri sendiri maupun orang lain melalui komunikasi langsung atau tidak langsung, misalnya dengan membaca buku-buku hasil karya tokoh terkemuka.
Selain itu kecerdasan, kesehatan spiritual, dan nalar akan tumbuh dengan subur bila disertai disiplin tertentu dalam jalan kehidupan spiritual.
Diri manusia adalah ibarat suatu laboratorium raksasa yang selalu mengkaji segala aspek, baik yang tumbuh dari dalam maupun yang datang dari luar dirinya. Disiplin menempuh kehidupan spiritual merupakan pangkal utama keberhasilan seseorang mencapai keunggulan jati diri.
Dalam Brhadaranyaka Upanisad telah ditegaskan bahwa nilai-nilai kebenaran subjektif hanya akan diperoleh bila aspek spiritual diunggulkan dalam kehidupan manusia. Penegasan ini diaplikasikan oleh filsuf Hindu terkenal Adi Sankaracarya, yang menyatakan bahwa aspek spiritual sangat besar pengaruhnya pada nalar manusia.
Oleh karena nilai-nilai kebenaran didasari oleh aspek spiritual yang bersifat universal, maka pandangan yang mulanya subjektif kemudian menjadi dualis, yaitu subjektif dan objektif. Artinya nilai-nilai kebenaran yang diyakini seseorang haruslah mendapat pengakuan publik.
Bila demikian ia akan berguna bagi kesejahteraan bersama dalam kehidupan manusia yang harmonis dengan Hyang Widhi (Parhyangan), dengan sesama manusia (Pawongan), dan dengan alam semesta (Palemahan).
Ketiga keharmonisan ini disebut “Trihita Karana”. Nilai-nilai kebenaran objektif seperti ini kemudian berkembang menjadi darsana, yaitu sebuah pandangan realitas logis, yang berlandaskan observasi konseptual setelah melalui tes dalam kehidupan manusia.
Bagi mereka yang merasa masih belum mendapatkan atau masih ragu pada nilai-nilai kebenaran, dapat meminta guru spiritual yang dipercaya memberikan pencerahan yang bersumber dari Veda.
Di samping itu para pencari kebenaran hendaknya memelihara roh atau atman yang ada di dalam dirinya dengan baik, dalam pengertian memberikan kesempatan yang luas kepada atman untuk menguasai pikiran.
Dalam filsafat Hinduisme “Advaita”, atman adalah Brahman/ Hyang Widhi. Jadi bila manusia berhasil menguatkan kedudukan atman pada dirinya, berarti ia berhasil pula menguatkan stana Hyang Widhi dalam dirinya.
Ia dengan segera akan mendapatkan pencerahan, sehingga segala kayika (perbuatan) dan wacika (perkataan) terkendali dengan baik dari manacika (pikiran) yang telah dirasuki kemurnian dan kekuatan Brahman.
Kitab suci Veda mempunyai otoritas tertinggi dalam menentukan kebenaran, sedangkan nalar atau pikiran yang disebut tarka menegaskan nilai-nilai itu untuk mencapai intuisi humanist.
Upanisad menyatakan bahwa dengan mendengarkan (sravana), refleksi (nidhiyasana), dan meditasi (upasana) seseorang dapat mencapai pengetahuan intuitif Brahman.
Dengan demikian maka unsur-unsur kebenaran meliputi tiga hal pokok:
  1. Nilai hakiki, yaitu Veda
  2. Sarana, yaitu tarka
  3. Tes kebenaran, yaitu pengakuan publik
Mengenai nilai hakiki dan sarana telah dijelaskan di atas. Kini dilanjutkan dengan masalah tes kebenaran. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan atau sains mempunyai keterbatasan karena hanya mengetahui fakta-fakta di dalam hubungannya dengan fakta yang lebih besar.
Di sisi lain fakta-fakta yang baru dapat menggantikan fakta-fakta yang lama yang sudah dianggap usang dan tidak digunakan lagi.
Kebenaran dalam aspek spiritual yang abadi tidak hanya mencakup hal-hal material saja tetapi juga mencakup aspek-aspek halus yang tidak berwujud misalnya, panca tan matra, yaitu pengaruh panca indria:
  1. Sabda tan matra (pendengaran)
  2. Sparsa tan matra (rasa kulit)
  3. Rupa tan matra (penglihatan)
  4. Rasa tan matra (rasa lidah)
  5. Ganda tan matra (penciuman)
Pengaruh panca tan matra pada atman melalui pikiran kemudian membentuk trikaya (kayika: perbuatan, wacika: perkataan, dan manacika: pikiran).
Trikaya seseorang akan menampilkan tripramana, yaitu rajas, tamas, dan sattwam, yang pada gilirannya menjadi salah satu bagian dalam pembentukan karmawasana. Unsur-unsur karmawasana adalah subha dan asubha karma.
Tes kebenaran spiritual tidak dapat dilakukan secara nyata dan segera, karena memerlukan pembuktian melalui analisis objektif publik. Bagi masyarakat yang keyakinan Hinduisme-nya kuat, salah satu sarana tes kebenaran misalnya dapat diambil dari bagian pancasrada, yaitu karmaphala.
Bahwa perbuatan yang baik dan benar akan mendapatkan pahala yang baik, sedangkan perbuatan yang jelek dan salah akan mendapat pahala yang buruk.
Jalan yang dianjurkan untuk mendapat realisasi kebenaran ada bermacam-macam. Masing-masing darsana dari Sarva Darsana Samgraha menyampaikan cara sendiri, ada yang melalui karma marga, melalui bhakti marga, melalui jnyana marga, dan yoga marga atau kombinasi dari keempatnya.
Keberhasilannya tergantung pada disiplin pribadi dan konsistensi pelaksanaan dalam bentuk mengikuti jalan kesucian, meluaskan pengetahuan, dan menebarkan cinta kasih.
Ini tidaklah mudah karena seorang pencari kebenaran akan selalu mendapat godaan, cobaan, dan tantangan. Hakekat kehidupan manusia pada dasarnya selalu berjuang menegakkan kebenaran dan melawan atau menolak ketidakbenaran, atau kesalahan.
Dari segi pendidikan, pandangan bahwa kebenaran tertinggi adalah kebenaran spiritual mestinya selalu ditanamkan sehingga dengan sinar spirit inilah intelektual Hindu akan dapat mewujudkan kehidupan satyam, siwam, sundaram, yaitu kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama (satyam), saling menyayangi sesama umat manusia (siwam), dan sejahtera lahir-batin (sundaram).
Dasar yang kuat untuk mencapai kebenaran spiritual adalah ‘kedekatan’ dengan Sanghyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.
Keyakinan akan keberadaan-Nya dapat melalui Catur Pramana, yaitu: Agama Pramana, dari mempelajari kitab suci Veda; Pratyaksa Pramana, merasakan atau mengalami langsung dengan jelas dan nyata delapan ke-Maha Kuasaan-Nya yang disebut sebagai Asta Aisvarya:
  1. Anima = sangat halus
  2. Laghima = sangat ringan
  3. Mahima = sangat besar
  4. Prapti = dapat menjangkau semua tempat
  5. Isitva = melebihi segalanya
  6. Prakamya = berkehendak mutlak
  7. Vasitva = sangat berkuasa
  8. Kamavasayitva = kodrati, tak dapat dirubah
Selanjutnya, catur pramana yang lain adalah Anumana Pramana, yaitu dengan menarik kesimpulan berdasarkan logika, dari unsur-unsur gerakan, sebab-akibat, keharusan, kesempurnaan, dan keteraturan.
Yang terakhir adalah Upamana Pramana, yaitu analogi, dan kesimpulan berdasarkan perbandingan-perbandingan dari unsur-unsur metafora (penciptaan), struktural (bahan ciptaan) dan kausal (akibat dari suatu sebab).
Keempat pramana di atas mewujudkan keyakinan yang kuat yang disebut sebagai Pancasrada, yaitu:
  1. Widhi Tattwa (keyakinan pada adanya Hyang Widhi)
  2. Atma Tattwa (keyakinan pada adanya roh)
  3. Purnabhawa (keyakinan pada adanya re-inkarnasi)
  4. Karmaphala (keyakinan pada hukum karma-phala)
  5. Moksah (keyakinan akan adanya persatuan antara roh/ atman denganTuhan/ Brahman di suatu saat yang tepat, bila kesucian roh memenuhi syarat tertentu atau sama dengan Brahman)
Secara riil upaya mendekatkan diri dengan Sang Pencipta adalah melalui empat jalan atau Catur Marga, yaitu:
  1. Bhakti marga, menyembah, memuja, menghormati dan menyayangi
  2. Karma marga: bekerja, berbuat mencapai tujuan hidup dilandasi ajaran Veda
  3. Jnyana Marga: proses pembelajaran
  4. Yoga Marga: olah badan dan pikiran untuk menghubungkan atma dengan parama atma
Keempat jalan itu tidak dilaksanakan sendiri-sendiri, tetapi serentak bersamaan, namun keseimbangan bobotnya disesuaikan dengan kemampuan individu.
Dalam menempuh keempat jalan itu, kitab suci Veda telah menggariskan hal-hal yang harus dilaksanakan dan hal-hal yang tak boleh dilaksanakan, yaitu:
1. Catur Purushaarta: dharma, artha, kama, dan moksa, di mana urut-urutannya tidak boleh diubah, karena tiada artha yang diperoleh tanpa melalui dharma, selanjutnya tiada kama diperoleh tanpa melalui artha, serta tiada moksa bisa dicapai tanpa melalui dharma, artha, dan kama.
2. Sistacara: kehidupan suci yang membentuk susila
3. Sadacara: taat pada peraturan atau perundangan yang sah
4. Atmanastusti: memelihara hati nurani yang suci
5. Menjauhkan diri dari Sad Tatayi:
  1. Agnida (membakar, memarahi orang, menghasut, dll)
  2. Wisada (meracun atau meracuni dengan kata-kata atau bujukan)
  3. Atharwa (menggunakan ilmu hitam)
  4. Sastraghna (mengamuk/ lepas kendali)
  5. Dratikrama (memperkosa)
  6. Rajapisuna (memfitnah)
6. Waspada pada Sad Ripu yang ada pada diri sendiri:
  1. Kama (nafsu),
  2. Lobha (serakah),
  3. Kroda (marah),
  4. Mada (mabuk),
  5. Moha (sombong),
  6. Matsarya (cemburu, dengki dan iri hati)
7. Laksanakan Trikaya Parisudha, yakni
  1. Perbuatan (kayika) yang baik: ahimsa (tidak membunuh/ menyakiti), tan mamandung (tidak mencuri, korupsi, kkn), tan paradara (tidak berzina)
  2. Perkataan/ ucapan (wacika) yang baik: tan ujar apregas (tidak berkata-kata kasar/ keras), tan ujar ahala (tidak berkata-kata kotor atau membual), tan ujar pisuna (tidak memfitnah), satya wacana (jujur, menepati janji)
  3. Pikiran (manacika) yang baik: tan adengkya ri drwyaning len (tidak iri atau ingin memiliki kepunyaan orang lain), mamituhwa ri hananing karma-phala (percaya pada hukum karma-phala), dan masih ring sarwa satwa (menyayangi semua mahluk)
8. Senantiasa melakukan Asada Brata:
  1. Dharma (taat pada hakekat kebenaran)
  2. Satya (setia pada nusa-bangsa-negara)
  3. Tapa (mengendalikan diri)
  4. Dama (tenang dan sabar)
  5. Wimatsarira (tidak dengki, iri, serakah)
  6. Hrih (punya rasa malu berbuat salah atau dosa)
  7. Titiksa (tidak gusar)
  8. Anasuya (tidak bertabiat jahat)
  9. Yadnya (suka berkorban)
  10. Dana (dermawan)
  11. Dhrti (mensucikan diri)
  12. Ksama (suka memaafkan)
9. Kemampuan mengendalikan Dasa Indria:
  1. Srotendria (pendengaran)
  2. Twakindria (alat peraba, kulit)
  3. Granendria (penciuman)
  4. Caksundria (mata)
  5. Wakindria (lidah/ perkataan)
  6. Panindria (gerakan tangan)
  7. Payundria (membuang kotoran)
  8. Jihwendria (gerakan kaki)
  9. Pastendria (kelamin)
10. Mengendalikan diri melalui Yama Brata:
  1. Arnsamsa (tidak egois)
  2. Ksama (pemaaf)
  3. Satya (setia)
  4. Ahimsa (tidak membunuh/ menyakiti)
  5. Dama (sabar dan tenang)
  6. Arjawa (tulus ikhlas)
  7. Pritih (welas asih)
  8. Prasada (tidak berpikir buruk)
  9. Madhurya (bermuka manis secara tulus ikhlas)
  10. Mardawa (lemah lembut)
11. Menegakkan disiplin melalui Niyama Brata:
  1. Dana (dermawan)
  2. Ijya (rajin bersembahyang)
  3. Tapa (pengendalian diri/ mengekang nafsu)
  4. Dhyana (menyadari kebesaran Hyang Widhi)
  5. Swadhyaya (rajin belajar)
  6. Upastanigraha (menjaga kesucian hubungan sex)
  7. Brata (mengekang nafsu)
  8. Upawasa (puasa)
  9. Mona (mengendalikan pembicaraan)
  10. Snana (menjaga kesucian lahir-bathin)
12. Mengatur tahap kehidupan dalam Catur Ashrama:
  1. Brahmacari (masa konsentrasi belajar)
  2. Griyahasta (berumah tangga dan mengembangkan keturunan)
  3. Wanaprasta (mengurangi ikatan pada keduniawian)
  4. Bhiksuka (mensucikan diri menjadi orang suci)
Intelektual Hindu di masa depan idealnya adalah kelompok yang telah mencapai Sad Guna, yaitu:
  1. Sandhi (mudah keluar dari kesulitan hidup)
  2. Wigrha (berpengaruh luas)
  3. Jana (perkataannya sebagai cerminan pola pikir, dituruti massa)
  4. Sana (selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan)
  5. Wisesa (bijaksana, berwibawa, mudah menaklukkan adharma)
  6. Srya (mendapat simpati/ disenangi)
Pribadi-pribadi yang dalam keadaan sad-guna akan membiaskan vibrasi pada kelompok masyarakat sehingga terwujudlah tatanan kehidupan yang satyam, siwam, sundaram.
Daftar Kepustakaan:
  1. Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, Cudamani, Yayasan Dharma Sarati Jakarta, 1990
  2. Weda Parikrama, G. Puja MA, SH, Lembaga Penyelenggara Penerjemah Kitab Suci Weda, Jakarta, 1977
  3. Apakah saya orang Hindu ? (Am I a Hindu ?) Ed. Visvanathan, Penerjemah: N.P. Putera dan Sang Ayu Putu Renny, PT Pustaka Manik Geni, Denpasar, 2000
  4. Dasar-Dasar Filsafat India, I.B. Putu Suamba, P.T. Mahabhakti, Denpasar, 2003
  5. Religion and Society, S. Radhakrishnan, Penerjemah Ida Bagus Gde Yudha Triguna, PT Mahabhakti, Denpasar, 2003
  6. Panggilan Upanisad (The call of the Upanisad): Bertemu Tuhan dalam diri, Rohit Mehta, Penerjemah Tjok. Rai Sudharta, Sarad, Denpasar, 2005
  7. Parasara Dharmasastra (Weda Smerti untuk Kaliyuga), I Wayan Maswinara, Penerbit Paramita, Surabaya, 1999
  8. Bagaimana menjadi Hindu (How to become a Hindu), Satguru Sivaya Subramuniyaswami, Penerjemah Ngakan Made Madrasuta, PT Percetakan Penebar Swadaya, 2005
  9. Indian Philosophy, Sarvepalli Radhakrishnan, and Charles A. Moore, Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1989
  10. Fruit of Karma, Prof. Dr. Suchitra Onkom, Asia Books Co., Ltd, Bangkok, Thailand, 1999

0 komentar:

Posting Komentar